Banyak orang tidak percaya Prabu Baka atau Prabu Dwaka telah gugur. Lalu siapa yang berani melawannya, bahkan sampai berhasil mengalahkan dan membunuhnya? Kalau ia manusia pastilah ia bukan manusia biasa, tetapi manusia keturunan dewa. Atau malah mungkin ia seorang dewa yang menyamar jadi manusia?. Untuk memastikan kebenaran kabar itu, orang-orang berduyun-duyun menuju Padepokan Giripurwa.
Sesampainya di Giripurwa orang banyak telah lebih dahulu berada di sana. Kedatangnya mereka selain untuk memastikan kebenaran tentang gugurnya Raja pemakan manusia itu, mereka juga ingin melihat dari dekat kesatria yang telah berhasil membunuh Prabu Dwaka.
Selama sepekan, terhitung sejak gugurnya Prabu Dwaka, pada setiap harinya padepokan Giripurwa dibanjiri oleh orang-orang dari berbagai penjuru negeri Ekacakra. Ekspresi kelegaan dan sukacita memancar dari wajah mereka. Bimasena menadat ucapan terimakasih krena keberhasilannya menyingkirkan angkaramurka yang menjadi sumber kecemasan dan ketakutan.
Setelah semua menjadi reda, suasana kembali normal, bahkan ketentraman dan kedamaian mulai dirasakan, Ibu Kunthi dan kelima anaknya berpamitan kepada resi Hijrapa, meninggalkan Giripurwa. Tidak lupa mereka juga berpamitan kepada Lurah Desa Kabayakan, Kyai Sagotra dan Rara Winihan, beserta seluruh warganya.
Rasa haru meremas kalbu. Tak kuasa mereka menahan tetesan air mata dari bola-bola mata yang bening bersahaja. Sesungguhnya mereka mengharapakan para kesatria Pandhawa dan Ibu Kunthi yang luhur budi agar berkenan tinggal untuk memimpin negeri. Mereka merindukan sosok pemimpin yang sepi ing pamrih, rame ing gawe. Pemimpin yang mengayomi dan mencintai rakyatnya. Namun tangan-tangan mereka tak kuasa menahannya. Lambaian tangan mengantar kepergian Kunthi dan Pandhawa.
Walaupun setelah membelok di sudut desa, Kunthi dan Pandhawa sudah tidak nampak lagi, mata hati mereka justru semakin jelas memandang ketulusan hati yang telah dikorbankan oleh Ibu Kunthi dan anak-anaknya.
Kunthi, Puntadewa, Bimasena, Arjuna dan sikembar Nakula Sadewa telah jauh meninggalkan Padepokan Giripurwa. Mereka tidak ingin kembali ke Hastinapura. Peristiwa Bale Sigala-gala telah membuat mereka trauma. Walaupun ketika tinggal di kahyangan Saptapertala, Kunthi telah berusaha agar Sadewa dan Nakula dapat melupakan peristiwa yang mengerikan di Bale Sigala-gala, hingga saat ini si kembar belum mau memasuki bumi Hastina
Oleh karenya Kunthi dan kelima anaknya bertekad hidup seperti layaknya seorang Brahmana yang sedang menjalani laku tapa, berjalan tanpa tujuan, masuk keluar hutan dalam waktu yang tak terbatas. Mereka menggunakan pakaian dari kulit binatang, memakan buah-buahan dan akar-akaran yang ditemuinya di hutan.
Siang malam Bima dan Arjuna selalu waspada menjaga ibu dan saudara-saudaranya dari serangan binatang buas dan juga raksasa hutan.
Kabar gugurnya Prabu Dwaka terdengar jauh sampai di negara Pringgandani. Prabu Arimba raja Pringgandani yang bermuka raksasa ini masih terhitung sahabatnya Prabu Baka, terbakar hatinya mendengar kabar tersebut. Ia mengutus Arimbi adiknya, yang bermuka raseksi, untuk mencari tahu siapkah orang yang telah membunuh Prabu Dwaka. Jika sudah ketemu, Arimbi diberi kuasa untuk membunuhnya. Namun jika kamu tidak dapat membunuhnya, segeralah pulang ke Pringgandani, biar aku sendiri yang akan membunuhnya. kata Prabu Arima kepada Arimbi adiknya.
Saat itu juga Arimbi, meninggalkan Negara Pringgandani sendirian, menuju Negara Ekacakra. Sesampainya di Ekacakra ia mendapat keterangan untuk menuju ke Padepokan Giripurwa. Namun sesampainya di Giripurwa, yang dicari sudah tidak ada. Arimbi kecewa. Ia kemudian mencari keterangan mengenai ciri-ciri orang yang telah membunuh Prabu Dwaka
Setelah mendapat keterangan cukup jelas dari salah seorang warga Desa Kabayakan, mengenai ciri-ciri kesatria yang telah membunuh Prabu Dwaka, Arimbi segera mencari keberadaannya. Berkat pengalamannya dan daya penciumannya yang tajam Arimbi tidak kesulitan menemukan jejaknya.
Di Hutan Waranawata Kunthi dan kelima anaknya berada. Dan Arimbi telah menemukannya. Arimbi mengamati mereka dari balik lebatnya pepohonan. Menurut ciri-ciri yang disampaikan oleh warga Desa Kabayakan, sungguh benarlah bahwa keenam orang itu adalah Kunthi dan ke lima anaknya. Salah satu diantara anak Kunthi, adalah pembunuh Prabu Dwaka. Namanya Bimasena. orangnya tinggi perkasa.
Arimbi mengarahkan pengamatannya kepada orang yang dimaksud. Namun ketika ia melihat Bimasena, hatinya berdesir. Ada gelombang magnet yang luar biasa besar, yang menarik-narik hatinya. Arimbi tak kuasa menahan gejolak itu. Pada pandangan pertama, hati Arimbi telah tertambat kepada sosok perkasa yang mempesona.
Terdorong oleh hasratnya yang tak mungkin dibendung, Arimbi bergerak ringan menghampiri Bimasena yang sedang duduk bersama Ibunda Kunthi. Keduanya terkejut, terlebih Bima, yang tidak tahu dari mana arah datangnya, tiba-tiba ada sosok raseksi bersimpuh dihadapannya.
Sesampainya di depan Kunthi dan Bima, Arimbi menjadi lupa tujuan semula, untuk membuat perhitungan dengan orang yang membunuh Prabu Dwaka. Ketika mata Arimbi menatap Bima dari jarak dekat, ia terkena panah asmara, yang lepas dengan sendirinya dari pribadi mempesona. Kunthi menyapa dengan lembut, apa maksud kedatangannya? Arimbi tidak segera dapat menjawab pertanyaan Kunthi. memang pada semula ia bermaksud membuat perhitungan dengan orang yang telah membunuh Prabu Dwaka. Namun kenyataannya Arimbi tidak berdaya setelah menemukan orang yang dimaksud. Bahkan ia dengan terus terang menyatakan jatuh cinta kepada Bimasena. Kunthi tersenyum lembut. Ia memahami hati seorang wanita yang lebih mengutamakan perasaannya dibandingkan dengan pikirannya.
source: google.com
0 comments:
Post a Comment