Ketika matahari mulai menampakan sinarnya kemerah-merahan, terdengar suara gamelan mengalun dari di pusat kotaraja Saptapertala. Dari kejauhan suara gamelan tersebut terdengar menyatu dengan suara serangga-serangga malam yang saling bersaut-sautan. Perpaduan aneka suara tersebut bagaikan sebuah komposisi musik para dewa tatkala sedang melakukan pujaasmara.
Malam itu ibu kota Kahyangan Saptapertala berhias dengan keindahan. Bak gadis dewasa yang sedang bersolek manja. Disetiap sudut kota dipasang umbul-umbul serta rontek, dan dipadu dengan penjor-penjor berhiaskan janur kuning. Hiasan-hiasan tersebut ditancapkan ke pinggir jalan dengan sudut kemiringan enampuluh derajat, sehingga seakan menunduk memberi salam hormat kepada siapa saja yang melewati jalan itu. Kawula Saptapertala yang hampir sebagian besar berkulit kasar seperti sisik, berduyun-duyun menuju pusat koata raja. Di dunia bawah tanah pada lapis ke tujuh yang disebut Kahyangan Saptapertala ini kehidupannya tidak jauh berbeda dengan kehidupan di atas dunia atau di marcapada, yang membedakan adalah orang-orang di Saptapertala berkulit kasar seperti sisik.
Menjelang tabuh tujuh, alun-alun Kotaraja berubah menjadi lautan manusia mereka datang dari penjuru negeri, ingin menyaksikan peristiwa yang amat bersejarah, yaitu perkimpoian antara bangsa manusia dan keturunan dewa ular. Perkimpoian antara Raden Bimasena dan Dewi Nagagini.
Sebelum kedua Calon Penganten dipertemukan dalam upacara Panggih, di pendapa induk yang terletak di pinggir alun-alun, diadakan tarian sakral lingga-yoni yang melambangkan perkimpoian agung antara Dewa Siwa dan Dewi Uma. Konon tarian tersebut diadakan, adalah untuk ritual penghormatan kepada dewa Siwa. Namun saat ini tarian tersebut dipentaskan untuk menyambut dan menghormat calon pengantin berdua. Selain itu tarian Lingga-yoni juga merupakan doa pengharapan agar bumi Saptapertala mengalami kesuburan dan kesejahteraan.
Setelah tari Lingga-yoni selesai, mengumandanglah kidung malam yang berisi sebuah mantra untuk mengingatkan agar semua makhluk, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan saling menempatkan diri pada tempatnya, sesuai dengan demensi mereka, sehingga diantara mereka tidak saling mengganggu.
Singgah-singgah kala singgah
pan suminggah durga kala sumingkir
sing aama sing awulu
sing asuku sing asirah
sing atenggak kalawan sing abuntut
padha sira suminggah
muliha mring asal neki
Hening suasana, semua yang hadir diam. Mereka mencoba mengikuti dan menghayati tiap kata yang ditembangkan dengan telinga dan hatinya hingga sampai dengan nada terakhir. Maka legalah batin mereka, setelah tembang singgah-singgah usai. Mereka berkeyakinan bahwa upacara panggih pengantin akan lancar dan baik adanya.
Seperti apa yang direncanakan dan dilaksanakan, semuanya berjalan dengan baik Raden Bimasena dan Dewi Nagagini telah resmi dipersatukan sebagai suami istri. Hyang Antaboga amat gembira menyaksikan pasangan Raden Bimasena dan Dewi Nagagini. Bagi Dewa penguasa bumi ini, perkimpoian antara Raden Bimasena dan Dewi Nagagini tidaklah merupakan perkimpoian pada umumnya. Perkimpoian mereka bagaikan symbol bersatunya antara bangsa manusia dan bangsa ular yang selama ini tidak saling bersahabat. Atau juga dapat dimaknai sebagai upaya untuk membangun kembali keharmonisan alam. Namun yang lebih penting dan sangat disyukuri oleh Dewi Kunthi dan Sang Hyang Antaboga adalah bahwa perkimpoian tersebut telah mengalihkan perhatiannya Bimasena khususnya atas kejahatan Sengkuni dan Korawa yang telah mencelakai para Pandhawa.
Seandainya saja Bimasena tidak berjumpa dengan Dewi Nagagini, tentu saja panas hatinya akan semakin menjilat tak terkendali dan membakar Sengkuni dan para Korawa. Namun syukurlah sebelum semuanya terjadi Dewi Nagagini telah menyiram hatinya dengan kelembutan dan kesejukan. Sehingga malam itu Bimasena tak mampu lagi melepaskan pelukan Nagagini yang menentramkan.
source: google.com
0 comments:
Post a Comment