Setiap wanita melahirkan bayi. Tetapi tidak demikian dengan Gandari istri Destarata. Ia melahirkan segelantung daging sebesarguling. Orang bertanya-tanya pertanda apa gerangan. Bisma segera mengundang Resi Abiyasa dari pertapaan Sapta Arga guna mempermaknakan kelahiran yang unik itu. Oleh Resi daging itu dikucuri air. Ajaib daging gelantung itu bercerai-berai menjadi berkeping-keping kemudians atu pesatu berubah menjadi bayi laki-laki, satu di antaranya perempuan.
Bayi pertama diberi nama Duryudana atau Suyudana, kedua Dursasana dan seterusnya hingga semua berjumlah seratus anak bayi. Sedan yang perempuan diberi nama Dusala atau Dursilawati. Sementara Pandu dari kedua istrinya, Kunti dan Madrim melahirkan lima orang anak laki-laki. Dari Kunti lahir Yudhistira, Bima dan Arjuna. Sedang dari Madrim, Nakula dan Sadewa. Kedua golongan itu masing-masing disebut Kurawa dan Pandawa dan merupakan inti cerita Mahabharata.
Karakter kedua golongan itu saling bertolak belakang. Kurawa berwatak angkara sedang Pandawa memiliki budi pekerti luhur dan ksatria. Duryudana sebagai ketua kelompok Kurawa budinya rendah tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Tidak mempunyai pertimbangan sendiri segala sesuatu bagaimana orang lain. Dalam hal ini Sakuni yang berwatak dengki dan licik mempunyai andil membentuk kepribadian anak Gandari pertama yang berwatak angkara itu. Dia selalu ingin disanjung tetapi tidak senang kalau ada yang menyaingi sehingga tidak pernah mau berkenalan dengan kebenaran.
Karena sejak kecil telah ditanamkan benih kebencian kepada Pandawa, setelah dewasa sering terlibat dalam perkelahian, tapi kemudian berkembang lagi menjadi permusuhan perebutan kekuasaan negara.
Sikap permusuhan semakin menjadi manakala usaha Sakuni berhasil mendudukkan Duryudana menjadi raja negara tersebut. Sedang golongan Pandawa yang lebih berhak malah terusir harus menjalani hukum buang selama 13 tahun lamanya merana di hutan belantara karena kalah bermain judi. Kesemua itu adalah hasil tak-tik liciknya Sakuni yang telah direncanakan sejak lama.
Melihat Pandawa diusir seorang Resi bernama Maitreja merasa iba karena dia tahu, bahwa itu terjadi semata-mata perbuatan liciknya Sakuni. Maka dia mengusulkan supaya Pandawa tidak diusir tetapi ditematkan di sebuah desa agar hidup tentram dan aman. Mendengar itu Duryudana sangat murka dan tak ayal lagi Resi Maitreja ditendang dan kepalanya diinjak-injak. Untung Arya Widura segera melerai hingga Resi MAitreja selamat dari kematian. Namun Resi Maitreja yang merasa ingin berbuat tetapi malah disiksa, mengutuk Duryudana: "Engkau Duryudana, aku memohon kepada Dewata, kelak bila engkau sedang sekarat kepalamu akan diinjak-injak dan mukamu tak henti-hentinya dijotos dan tubuhmu diluluh hingga engkau mati bagai binatang hina," ujarnya. Semua yang hadir kaget mendengar kutukan resi yang amat mengerikan itu. Akhirnya Resi Maitreja meninggalkan negeri itu tak mau mengabdi kepada Raja yang laknat galak dan menyiksa tanpa alasan.
Ketika perang Barata hampir selesai selurunya keluarga Kurawa telah hancur tinggal Duryudana seorang, pikirannya tak karuan. Ia masih ingin hidup tetapi harus lari ke mana. Rasa takut semakin mencengkram terutama kepada Bima yang mengancam akan membunuhnya dalam perang itu. Saking bingungnya ia masuk merendam dalam sungai agar dingin pikirannya dan tak akan ada yang mengetahui. Tetapi Samiaji tahu serta dihampirinya Duryudana serta berkata: "Wahai raja Suyudana, tak pantas tuan bersembunyi mundur dari arena peperangan, sementara keluarga tuan telah membaktikan dirinya demi tuan."
Suyudana menjawab: "Bukan aku tetapi aku ingat kepada keluargaku yang telah bela pati dan memohon kepada Dewata agar mereka dimasukkan surga. Mengenai engkau menginginkan kerajaan, aku rela memberikannya, sementara aku akan merantau ke tempat lain tidak akan tinggal di negeri ini," kilahnya. "Akhh, tidak pantas tuan berkata begitu. Tuan harus perang tanding. Silahkan pilih siapa lawan tuan akan kami siapkan," Yudhistira membesarkan hati Duryudana. Akhirnya raja Astina itu menurut dan memulihkan keberanian dan rasa percaya diri. Dan dia mengetahui siapa pun lawannya. Apabila dia menang, maka kerajaan Astina akan tetap menjadi miliknya. Akhirnya diputuskan oleh pengatur jalannya perang, bahwa lawan Suyudana adalah Bima.
Demikianlah perang tanding itu disaksikan banyak kalangan antara lain Prabu Baladewa yang berpendirian netral. Ternyata dalam perang tanding itu, Bima hampir-hampir tidak tahan menghadapi kelincahan Suyudana dan lupa di mana kelemahan lawannya itu. Kresna segera meminta Arjuna berpura-pura menepuk pahanya supaya dapat dilihat Bima. Bima pun waspada dan ia ingat bahwa kelemahan lawannya itu di pahanya. Ketika Bima hendak menggebuk punggunnya. Suyudana meloncat terlalu tinggi sehinga gada Bima mengenai paha kirinya dan tak ampun lagi seketika ia roboh tak berdaya. Saat itu lah kutukan resi Maitreja terjadi, maksud baik malah disiksa dan dihina. Walaupun Suyudana telah roboh tetapi Bima masih terus menghajarnya, kepalanya diinjak-injak, mukanya di jotos berulang kali tubuhnya diluluh bagaikan binatang. Walau Suyudana berteriak minta tolong tapi tak dipedulikan hingga penonton yang menyaksikan turut merasakan ngerinya siksaan itu.
Melihat adegan mengerikan Baladewa murka dan berteriak: "Hei Bima, kau melanggar aturan, musuh sudah kalah kau memukulnya terus. Dan kau bertanding curang memukul anggota badan dari batas udal ke bawah yang tidak diperbolehkan aturan perang," teriaknya emosi. Dan saat itu pula Baladewa akan melepas jemparing ke arah Bima. Bima tak tingal diam ia akan menubruknya, tetapi dengan sigap pula Kresna menghadang di antara keduanya dan dengan nada lirih menerangkan, bahwa Bima menggebug paha Suyudana bukan dengan sengaja, melainkan suyudana meloncat terlalu tinggi hingga gada tepat mengenai paha kirinya. Sesuai sifatnya yang mudah marah tapi mudah pula baik, Baladewa pun mengerti dan berlalu.
Demikianlah akhir riwayat Duryudana yang penuh berlumuran dosa sekaratnya pun tersiksa tak mati seketika tetapi merasakan dahulu akibatnya tak berdaya seperti sakitnya orang-orang yang pernah disakiti olehnya.
Bayi pertama diberi nama Duryudana atau Suyudana, kedua Dursasana dan seterusnya hingga semua berjumlah seratus anak bayi. Sedan yang perempuan diberi nama Dusala atau Dursilawati. Sementara Pandu dari kedua istrinya, Kunti dan Madrim melahirkan lima orang anak laki-laki. Dari Kunti lahir Yudhistira, Bima dan Arjuna. Sedang dari Madrim, Nakula dan Sadewa. Kedua golongan itu masing-masing disebut Kurawa dan Pandawa dan merupakan inti cerita Mahabharata.
Karakter kedua golongan itu saling bertolak belakang. Kurawa berwatak angkara sedang Pandawa memiliki budi pekerti luhur dan ksatria. Duryudana sebagai ketua kelompok Kurawa budinya rendah tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Tidak mempunyai pertimbangan sendiri segala sesuatu bagaimana orang lain. Dalam hal ini Sakuni yang berwatak dengki dan licik mempunyai andil membentuk kepribadian anak Gandari pertama yang berwatak angkara itu. Dia selalu ingin disanjung tetapi tidak senang kalau ada yang menyaingi sehingga tidak pernah mau berkenalan dengan kebenaran.
Karena sejak kecil telah ditanamkan benih kebencian kepada Pandawa, setelah dewasa sering terlibat dalam perkelahian, tapi kemudian berkembang lagi menjadi permusuhan perebutan kekuasaan negara.
Sikap permusuhan semakin menjadi manakala usaha Sakuni berhasil mendudukkan Duryudana menjadi raja negara tersebut. Sedang golongan Pandawa yang lebih berhak malah terusir harus menjalani hukum buang selama 13 tahun lamanya merana di hutan belantara karena kalah bermain judi. Kesemua itu adalah hasil tak-tik liciknya Sakuni yang telah direncanakan sejak lama.
Melihat Pandawa diusir seorang Resi bernama Maitreja merasa iba karena dia tahu, bahwa itu terjadi semata-mata perbuatan liciknya Sakuni. Maka dia mengusulkan supaya Pandawa tidak diusir tetapi ditematkan di sebuah desa agar hidup tentram dan aman. Mendengar itu Duryudana sangat murka dan tak ayal lagi Resi Maitreja ditendang dan kepalanya diinjak-injak. Untung Arya Widura segera melerai hingga Resi MAitreja selamat dari kematian. Namun Resi Maitreja yang merasa ingin berbuat tetapi malah disiksa, mengutuk Duryudana: "Engkau Duryudana, aku memohon kepada Dewata, kelak bila engkau sedang sekarat kepalamu akan diinjak-injak dan mukamu tak henti-hentinya dijotos dan tubuhmu diluluh hingga engkau mati bagai binatang hina," ujarnya. Semua yang hadir kaget mendengar kutukan resi yang amat mengerikan itu. Akhirnya Resi Maitreja meninggalkan negeri itu tak mau mengabdi kepada Raja yang laknat galak dan menyiksa tanpa alasan.
Ketika perang Barata hampir selesai selurunya keluarga Kurawa telah hancur tinggal Duryudana seorang, pikirannya tak karuan. Ia masih ingin hidup tetapi harus lari ke mana. Rasa takut semakin mencengkram terutama kepada Bima yang mengancam akan membunuhnya dalam perang itu. Saking bingungnya ia masuk merendam dalam sungai agar dingin pikirannya dan tak akan ada yang mengetahui. Tetapi Samiaji tahu serta dihampirinya Duryudana serta berkata: "Wahai raja Suyudana, tak pantas tuan bersembunyi mundur dari arena peperangan, sementara keluarga tuan telah membaktikan dirinya demi tuan."
Suyudana menjawab: "Bukan aku tetapi aku ingat kepada keluargaku yang telah bela pati dan memohon kepada Dewata agar mereka dimasukkan surga. Mengenai engkau menginginkan kerajaan, aku rela memberikannya, sementara aku akan merantau ke tempat lain tidak akan tinggal di negeri ini," kilahnya. "Akhh, tidak pantas tuan berkata begitu. Tuan harus perang tanding. Silahkan pilih siapa lawan tuan akan kami siapkan," Yudhistira membesarkan hati Duryudana. Akhirnya raja Astina itu menurut dan memulihkan keberanian dan rasa percaya diri. Dan dia mengetahui siapa pun lawannya. Apabila dia menang, maka kerajaan Astina akan tetap menjadi miliknya. Akhirnya diputuskan oleh pengatur jalannya perang, bahwa lawan Suyudana adalah Bima.
Demikianlah perang tanding itu disaksikan banyak kalangan antara lain Prabu Baladewa yang berpendirian netral. Ternyata dalam perang tanding itu, Bima hampir-hampir tidak tahan menghadapi kelincahan Suyudana dan lupa di mana kelemahan lawannya itu. Kresna segera meminta Arjuna berpura-pura menepuk pahanya supaya dapat dilihat Bima. Bima pun waspada dan ia ingat bahwa kelemahan lawannya itu di pahanya. Ketika Bima hendak menggebuk punggunnya. Suyudana meloncat terlalu tinggi sehinga gada Bima mengenai paha kirinya dan tak ampun lagi seketika ia roboh tak berdaya. Saat itu lah kutukan resi Maitreja terjadi, maksud baik malah disiksa dan dihina. Walaupun Suyudana telah roboh tetapi Bima masih terus menghajarnya, kepalanya diinjak-injak, mukanya di jotos berulang kali tubuhnya diluluh bagaikan binatang. Walau Suyudana berteriak minta tolong tapi tak dipedulikan hingga penonton yang menyaksikan turut merasakan ngerinya siksaan itu.
Melihat adegan mengerikan Baladewa murka dan berteriak: "Hei Bima, kau melanggar aturan, musuh sudah kalah kau memukulnya terus. Dan kau bertanding curang memukul anggota badan dari batas udal ke bawah yang tidak diperbolehkan aturan perang," teriaknya emosi. Dan saat itu pula Baladewa akan melepas jemparing ke arah Bima. Bima tak tingal diam ia akan menubruknya, tetapi dengan sigap pula Kresna menghadang di antara keduanya dan dengan nada lirih menerangkan, bahwa Bima menggebug paha Suyudana bukan dengan sengaja, melainkan suyudana meloncat terlalu tinggi hingga gada tepat mengenai paha kirinya. Sesuai sifatnya yang mudah marah tapi mudah pula baik, Baladewa pun mengerti dan berlalu.
Demikianlah akhir riwayat Duryudana yang penuh berlumuran dosa sekaratnya pun tersiksa tak mati seketika tetapi merasakan dahulu akibatnya tak berdaya seperti sakitnya orang-orang yang pernah disakiti olehnya.
0 comments:
Post a Comment