Gambar : Kresna sedang memberi nasihat Arjuna di medan Kurusetra
(lukisan Herjaka HS)
Sikap Kresna dalam cerita lakon Wahyu Cakraningrat menunjukkan bahwa ia tidak pilih kasih terhadap anak sendiri dan anak menantu. Keduanya dinasihati untuk mencari wahyu (Padmadihardja, 1979: P.II-VII). Pada akhir cerita, Wahyu Cakraningrat jatuh pada Abimanyu. Kresna senang dan memandang sudah tepat bila wahyu bertempat pada Abimanyu, suami Siti Sundari.
Kresna sebagai seorang anak yang telah berbakti kepada orang tua. Ia bersama Baladewa, kakaknya, berhasil membunuh Kangsa dan merebut kekuasaan kerajaan Mandura. Kemudian tahta kerajaan dikuasakan kepada Basudewa (Mangkunegara VII Jilid 6, 1932: 23-25)
Kresna selalu ingat dan patuh kepada pesan orang tua. Ketika Sumbadra dilamar Baladewa atas nama raja Duryodana untuk dikawinkan dengan Burisrawa, Kresna tidak menyetujui dan tidak mau menyerah terhadap keinginan Baladewa. Kresna mengingatkan pesan Basudewa tentang perkawinan Sumbadra. Kresna berpegang pada pesan ayahnya, siapa pun yang dapat memenuhi persyaratan perkawinan boleh memperisteri Sembadra. Ternyata yang dapat memenuhi syarat adalah keluarga Pandhawa, diperuntukkan Arjuna. (Mangkunegara VII jilid 13, 1932: 3-7). Maka Kresna setuju Sumbadra diperisteri Arjuna.
Kresna suka kepada perdamaian. Dalam cerita lakon Kresna Duta, Kresna berusaha mendamaikan pertikaian Pandhawa dengan Korawa. Tetapi Korawa tidak mau menyerahkan sebagian kerajaan Ngastina, bahkan ingin membunuh Kresna yang bertugas sebagai utusan pendamai. Kresna didakwa membela Pandhawa, maka warga Korawa menyerang Kresna dan akan membunuhnya. Kresna memperlihatkan kekuasaan dan kesaktiannya lalu bertiwikrama, berubah dalam wujud raksasa dahsyat. Korawa hendak dihancurkannya. Warga Korawa ketakutan, Narada datang dan minta agar Kresna menghentikan kemarahannya. Kresna kembali ke wujud semula, meninggalkan Ngastina dan memberi tahu kepada Pandhawa. Karena jalan damai tidak dapat dipakai, Kresna menyetujui perebutan kerajaan Ngastina dengan jalan perang (Kresna Duta, 1958: 13-15)
Kresna berpandangan, bahwa musuh tidak kenal sanak saudara. Artinya meskipun saudara, bila ia berkedudukan sebagai musuh, maka harus dimusnahkannya. Sikap Kresna itu terlihat pada waktu Arjuna berkeberatan untuk melawan sanak saudaranya dan gurunya dalam perang Bharatayudha. Kresna memberi nasihat dan tidak membenarkan bila Arjuna bersedih hati, enggan dan ragu-ragu. Kata-kata Kresna dalam Bhagawadgita dapat diringkas isinya demikian. ”Arjuna mengapa engkau susah dan lemah hati? Pada saat krisis, lemah semangat bukan sikap seorang kesatria. Itu bukan sikap luhur, tetapi sikap yang memalukan. Jangan kau biarkan kelemahan itu. Itu tidak sesuai bagimu. Enyahlah rasa cemas dan kecut. Bangkitlah, hai pahlawan jaya.” (Bhagawadgita II: 2-3)
Arjuna menyampaikan alasan keberatan, tidak mau membunuh Bisma dan Drona, gurunya. Ia mengharapkan cahaya terang agar dapat melihat yang benar dan yang salah. Kresna memberi nasihat: ”Engkau sedih bagi mereka yang tidak sepantasnya kau susahkan. Engkau sering berbicara tentang budi pekerti. Orang budiman tidak sepantasnya bersedih bagi orang hidup atau mati. Apa yang tinggal di badan setiap orang tidak akan terbunuh. Oleh karena itu hai Arjuna, jangan berduka atas kematian makhluk manapun juga! Sadarlah akan kewajibanmu, engkau tidak boleh gentar. Bagi kesatria tiada kebahagiaan lebih besar dari pada bertempur untuk menegakkan kebenaran. Berbahagialah kesatria yang berkesempatan untuk bertempur tanpa harus dicari-cari olehnya. Pintu terbuka baginya. Tetapi, hai Arjuna! Engkau tiada melakukan perang untuk menegakkan kebenaran. Engkau meninggalkan kewajiban dan kehormatanmu. Maka dosa pulalah bagimu. Orang akan terus membicarakan nama burukmu. Bagi orang terhormat yang kehilangan kehormatan, lebih buruk daripada kematian. Para pahlawan besar akan mengira engkau pengecut, lari dari pertempuran. Mereka yang pernah memuja engkau akan merendahkanmu dengan penghinaan. Banyak caci-maki terlontar padamu. Musuh akan menjelekkan dan menghina kekuatanmu. Adakah yang lebih dari semua itu? Andaikan tewas, engkau akan menikmati surga. Kalau menang engkau akan menikmati dunia. Oleh karena itu, hai Arjuna! Bulatkan tekad, bertempurlah, majulah!” (Bhagawadgita II: 30-37).
Arjuna berpendapat, bahwa perang, bertempur, saling membunuh adalah perbuatan kejam, buas dan kasar. Ia menolak berperang, meskipun itu darma bagi ksatria. Ia tidak sampai hati membunuh sanak saudara. Kresna menasihatinya, ”Telah kukatakan hai Arjuna. Ada dua pilihan dalam hidup ini. Jalan ilmu pengetahuan bagi cendekiawan, jalan tindakan dan kerja bagi karyawan. Orang tidak akan mencapai kebebasan tanpa bekerja, tidak akan mencapai kesempurnaan bila menghindari kegiatan kerja. Tidak seorang pun tidak bekerja, walaupun untuk sesaat juga. Manusia yang tidak mau berbuat niscaya akan dipaksa bertindak oleh hukum alam. Orang yang duduk mengontrol panca inderanya, tetapi pikirannya mengenang kenikmatan, sebenarnya orang itu bingung, menipu dirinya dan disebut orang birokrat. Orang yang dapat mengendalikan panca inderanya dengan pikirannya, bekerja tanpa memikirkan diri sendiri, dia itu adalah orang utama. Berbuatlah seperti yang telah ditentukan untukmu. Berbuat lebih baik daripada diam. Kalau engkau tidak berbuat, hidup sehari-hari tidak mungkin terpenuhi. Ketahuilah, hai Arjuna. Dunia ini dibelenggu oleh hukum kerja. Oleh karena itu berbuatlah demi kebaktian tanpa mementingkan diri pribadi” (Bhagawadgita III:3-9). Atas nasihat Kresna itu Arjuna bangkit keberaniannya, dan sanggup tampil ke medan perang.
R.S. Subalidinata
(lukisan Herjaka HS)
Sikap Kresna dalam cerita lakon Wahyu Cakraningrat menunjukkan bahwa ia tidak pilih kasih terhadap anak sendiri dan anak menantu. Keduanya dinasihati untuk mencari wahyu (Padmadihardja, 1979: P.II-VII). Pada akhir cerita, Wahyu Cakraningrat jatuh pada Abimanyu. Kresna senang dan memandang sudah tepat bila wahyu bertempat pada Abimanyu, suami Siti Sundari.
Kresna sebagai seorang anak yang telah berbakti kepada orang tua. Ia bersama Baladewa, kakaknya, berhasil membunuh Kangsa dan merebut kekuasaan kerajaan Mandura. Kemudian tahta kerajaan dikuasakan kepada Basudewa (Mangkunegara VII Jilid 6, 1932: 23-25)
Kresna selalu ingat dan patuh kepada pesan orang tua. Ketika Sumbadra dilamar Baladewa atas nama raja Duryodana untuk dikawinkan dengan Burisrawa, Kresna tidak menyetujui dan tidak mau menyerah terhadap keinginan Baladewa. Kresna mengingatkan pesan Basudewa tentang perkawinan Sumbadra. Kresna berpegang pada pesan ayahnya, siapa pun yang dapat memenuhi persyaratan perkawinan boleh memperisteri Sembadra. Ternyata yang dapat memenuhi syarat adalah keluarga Pandhawa, diperuntukkan Arjuna. (Mangkunegara VII jilid 13, 1932: 3-7). Maka Kresna setuju Sumbadra diperisteri Arjuna.
Kresna suka kepada perdamaian. Dalam cerita lakon Kresna Duta, Kresna berusaha mendamaikan pertikaian Pandhawa dengan Korawa. Tetapi Korawa tidak mau menyerahkan sebagian kerajaan Ngastina, bahkan ingin membunuh Kresna yang bertugas sebagai utusan pendamai. Kresna didakwa membela Pandhawa, maka warga Korawa menyerang Kresna dan akan membunuhnya. Kresna memperlihatkan kekuasaan dan kesaktiannya lalu bertiwikrama, berubah dalam wujud raksasa dahsyat. Korawa hendak dihancurkannya. Warga Korawa ketakutan, Narada datang dan minta agar Kresna menghentikan kemarahannya. Kresna kembali ke wujud semula, meninggalkan Ngastina dan memberi tahu kepada Pandhawa. Karena jalan damai tidak dapat dipakai, Kresna menyetujui perebutan kerajaan Ngastina dengan jalan perang (Kresna Duta, 1958: 13-15)
Kresna berpandangan, bahwa musuh tidak kenal sanak saudara. Artinya meskipun saudara, bila ia berkedudukan sebagai musuh, maka harus dimusnahkannya. Sikap Kresna itu terlihat pada waktu Arjuna berkeberatan untuk melawan sanak saudaranya dan gurunya dalam perang Bharatayudha. Kresna memberi nasihat dan tidak membenarkan bila Arjuna bersedih hati, enggan dan ragu-ragu. Kata-kata Kresna dalam Bhagawadgita dapat diringkas isinya demikian. ”Arjuna mengapa engkau susah dan lemah hati? Pada saat krisis, lemah semangat bukan sikap seorang kesatria. Itu bukan sikap luhur, tetapi sikap yang memalukan. Jangan kau biarkan kelemahan itu. Itu tidak sesuai bagimu. Enyahlah rasa cemas dan kecut. Bangkitlah, hai pahlawan jaya.” (Bhagawadgita II: 2-3)
Arjuna menyampaikan alasan keberatan, tidak mau membunuh Bisma dan Drona, gurunya. Ia mengharapkan cahaya terang agar dapat melihat yang benar dan yang salah. Kresna memberi nasihat: ”Engkau sedih bagi mereka yang tidak sepantasnya kau susahkan. Engkau sering berbicara tentang budi pekerti. Orang budiman tidak sepantasnya bersedih bagi orang hidup atau mati. Apa yang tinggal di badan setiap orang tidak akan terbunuh. Oleh karena itu hai Arjuna, jangan berduka atas kematian makhluk manapun juga! Sadarlah akan kewajibanmu, engkau tidak boleh gentar. Bagi kesatria tiada kebahagiaan lebih besar dari pada bertempur untuk menegakkan kebenaran. Berbahagialah kesatria yang berkesempatan untuk bertempur tanpa harus dicari-cari olehnya. Pintu terbuka baginya. Tetapi, hai Arjuna! Engkau tiada melakukan perang untuk menegakkan kebenaran. Engkau meninggalkan kewajiban dan kehormatanmu. Maka dosa pulalah bagimu. Orang akan terus membicarakan nama burukmu. Bagi orang terhormat yang kehilangan kehormatan, lebih buruk daripada kematian. Para pahlawan besar akan mengira engkau pengecut, lari dari pertempuran. Mereka yang pernah memuja engkau akan merendahkanmu dengan penghinaan. Banyak caci-maki terlontar padamu. Musuh akan menjelekkan dan menghina kekuatanmu. Adakah yang lebih dari semua itu? Andaikan tewas, engkau akan menikmati surga. Kalau menang engkau akan menikmati dunia. Oleh karena itu, hai Arjuna! Bulatkan tekad, bertempurlah, majulah!” (Bhagawadgita II: 30-37).
Arjuna berpendapat, bahwa perang, bertempur, saling membunuh adalah perbuatan kejam, buas dan kasar. Ia menolak berperang, meskipun itu darma bagi ksatria. Ia tidak sampai hati membunuh sanak saudara. Kresna menasihatinya, ”Telah kukatakan hai Arjuna. Ada dua pilihan dalam hidup ini. Jalan ilmu pengetahuan bagi cendekiawan, jalan tindakan dan kerja bagi karyawan. Orang tidak akan mencapai kebebasan tanpa bekerja, tidak akan mencapai kesempurnaan bila menghindari kegiatan kerja. Tidak seorang pun tidak bekerja, walaupun untuk sesaat juga. Manusia yang tidak mau berbuat niscaya akan dipaksa bertindak oleh hukum alam. Orang yang duduk mengontrol panca inderanya, tetapi pikirannya mengenang kenikmatan, sebenarnya orang itu bingung, menipu dirinya dan disebut orang birokrat. Orang yang dapat mengendalikan panca inderanya dengan pikirannya, bekerja tanpa memikirkan diri sendiri, dia itu adalah orang utama. Berbuatlah seperti yang telah ditentukan untukmu. Berbuat lebih baik daripada diam. Kalau engkau tidak berbuat, hidup sehari-hari tidak mungkin terpenuhi. Ketahuilah, hai Arjuna. Dunia ini dibelenggu oleh hukum kerja. Oleh karena itu berbuatlah demi kebaktian tanpa mementingkan diri pribadi” (Bhagawadgita III:3-9). Atas nasihat Kresna itu Arjuna bangkit keberaniannya, dan sanggup tampil ke medan perang.
R.S. Subalidinata
Gabung di FP kami yuk : http://facebook.com/caritawayang
0 comments:
Post a Comment