Prabu Baka atau Prabu Dwaka yang menjadi sumber ketakutan kawula Ekacakra telah dihancurkan oleh Bimasena. Para pejabat, pengawal perajurit dan pengikut yang selama ini berada di lingkaran pusat kekuasaan merasa terancam keberadaannya. Pengawal raja lapis pertama yang mengandalkan insting jika rajanya ada dalam bahaya dengan cepat menyerang Bima yang telah mencelakai tuannya, namun dengan cepat pula dilumpuhkan oleh panah Arjuna.
Walaupun tenaganya belum pulih, setelah mengalahkan Prabu Dwaka, Bima sendiri juga telah bersiaga untuk menghadapi para pengawal dan pengikut Prabu Dwaka yang tidak terima akan kematian Rajanya. Namun tidak ada lagi yang menyerang Bima setelah serangan pengawal lapis pertama gagal total. Mereka keder juga menyaksikan kesaktian Bima yang menggetarkan.
Ditambah lagi bahwa rombongan pembawa korban dari Giripurwa terdapat orang sakti selain Bima, yang ahli menggunakan senjata panah. Kesaktiannya dalam memanah telah ditunjukkan ketika membendung serangan para pengawal raja lapis pertama yang hendak mengeroyok Bimasena. Orang sakti tersebut adalah adik Bimasena yang bernama Arjuna. Ia memang sengaja mennunjukan kesaktiannya agar yang lain jera, sehingga dengan demikian akan mengurangi korban.
Kesaktian memanah yang ditunjukan Arjuna dengan melumpuhkan puluhan korban dalam waktu sekejab merupakan ilmu terbaik Sokalima. Ditambah pula dengan pusaka ali-ali ampal dari Prabu Ekalaya raja Paranggelung, membuat ilmu memanah Arjuna tidak tertandingi. Maka jika pun pengawal lapis dua berniat melawan Bima dan Arjuna dapat dipastikan nasibnya akan sama seperti pengawal lapis pertama yang dalam sekejap roboh bersamaan.
Untung saja gebrakan awal Arjuna berhasil membuat nyali para pengawal raja menciut, sehingga mereka mengurungkan niatnya untuk melawan Bima dan Arjuna. Karena sudah tidak punya nyali untuk melawan, para pejabat, pengawal dan pengikut setia Prabu Dwaka kini sudah tidak setia lagi, mereka meletakan senjata dan menyerah.
Sorak sorai membahana. Kawula Ekacakra merayakan kemenangan. Korban bakaran yang sedianya diperuntukan untuk kehormatan dan kekuasaan raja menjadi korban sukacita dan pesta kemenangan rakyat Ekacakra. Bimasena dielu-elukannya dan juga Arjuna. Hal yang lebih membanggakan dirasakan oleh rombongan korban dari Giripurwa. Karena berawal dari Bima yang hadir di wilayahnya dan bersedia menjadi silih korban menggantikan Rawan, akhirnya mampu menumbangkan angkaramurka dan menanamkan ketamakan Prabu Baka di gunung Gamping yang beku.
Gugurnya Prabu Baka membuat keadaan negeri Ekacakra secara keseluruhan berbalik 180 derajat. Jika sebelumnya rasa takut dan suasana mencekam melanda setiap hati kawula Ekacakra, kini setelah Prabu Baka gugur, suasana berubah menjadi sukacita dan lepas bebas dari takut dan cemas. Seluruh rakyat menjadi tenteram karenanya.
Dengan perubahan itu, beberapa bebahu desa Kabayakan teringat akan kata-kata Rara Winihan yang memberikan pengharapan, bahwa tidak lama lagi desa Kabayakan akan terbebas dari rasa cemas takut. Bahkan Desa ini akan mendapat anugerah yang begitu besar.
Tanda akan datangnya anugerah besar itu di sampaikan oleh Hyang Widi Wasa lewat mimpinya. Pada dini hari tadi, Rara Winihan bermimpi sedang melakukan perjalanan ke dusun-dusun, bersama Ki Lurah Sagotra, Para Bebahu, dan beberapa orang yang dituakan. Sesampainya di setiap dusun yang mereka kunjungi, para warga mengelu-elukan rombongan Lurah Sagotra. Suasana kunjungan tersebut mirip sebuah perjalanan pesiar. Diakhir perjalanannya, rombongan Lurah Sagotra memasuki jalur sungai. Keanehan terjadi, mereka berjalan di atas sungai dan kakinya tidak menyentuh air.
Dan benarlah, makna yang terselubung dalam mimpi, bahwa jika orang yang bermimpi berjalan di atas air, akan mendapat kabegjan anugerah yang luar biasa. Kini mimpi Rara Wunihan telah menjadi kenyataan.
Selain Bima dan Arjuna nama Rara Winihan menjadi semakin berkibar. Banyak kawula Giripurwa menginginkan Ibu Lurah tersebut menempati jabatan yang lebih tinggi lagi. Namun Rara Winihan menolaknya. Ia justru menjadi malu, karena sesungguhnya ia hanyalah seorang yang tidak berarti dibandingkan dengan Bimasena dan Arjuna, atau dengan Ibu Kunthi. Ia hanyalah istreri Lurah Sagotra, Kanca Wingking yang seharusnya hanya berada di wilayah belakang.
Ambisi para bebahu yang ingin mengangkat dirinya menduduki jabatan yang lebih tinggi, justru telah menyadarkan dirinya, bahwa langkah yang ia jalankan selama ini telah kemajon, atau terlalu ke depan dibandingkan dengan peran yang seharusnya ia jalani, yaitu sebagai isteri Lurah, tidak lebih.
Pada keesok harinya ketika semuanya berkumpul di Rumah Resi Hijrapa, tak satupun rasa takut menyusup di hati dan pikiran mereka. Sehingga yang nampak adalah wajah-wajah ceria yang terbebas dari kecemasan. Dalam kesempatan tersebut, Resi Hijrapa, Rawan, Lurah Sagotra dan Rara Winihan mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Ibu Kunthi, Bimasena dan Arjuna. Selain itu Resi Hijrapa dan kemudian diikuti oleh Rawan, Ki Lurah Sagotra dan Rara Winihan menyatakan diri, jika kelak terjadi perang besar antara Pandhawa dan Korawa yang disebut Bharatayudha mereka siap membantu Pandhawa sebagai tawur awal pada perang tersebut. Kunthi dan Pandhawa sangat terharu merasakan ketulusan yang dinyatakan mereka untuk siap berkorban bagi Pandhawa.
Sepeninggal Prabu Dwaka, kerajaan Ekacakra komplang, tanpa raja. Untuk sementara sebelum sampai kepada orang yang paling berhak menduduki tahta, kebijaksanaan kerajaan dipasrahkan kepada Prabu Durpada yang memerintah di negara Pancala. Karena wilayah Ekacakra bergandengan dengan wilayah Pancala.
source: google.com
0 comments:
Post a Comment