Syahdan raja Wirata, Prabu Basumurti berkehendak berburu binatang dan burung, terlaksanalah sudah banyak hasil perburuahannya, atas kehendak raja, diperintahkan kepada patih Wirata, Jatidenda, untuk mengadakan sedekah uang kepada orang-orang pedesaan.
Seorang cantrik bernama Janaloka sedang tekun menunggu pohon Sriputa, tak tergoyahlah hatinya untuk mengumpulkan uang sedekah raja yang berserakan disekitarnya. Raja Basumurti segera mengutus adiknya yang bernama raden arya Basukesti, untuk menanyainya, berkatalah, Hai, Janaloka, apa sebab kau tak sudi mengumpulkan uang sedekah raja?. Dijawabnya, Raden, takut hamba akan singit dan wingit, raden arya Basukesti melanjutkan pertanyaannya, apa yang kaumaksudkan dengan kata-katamu itu?. Janaloka menerangkanya, Wahai raden arya Basukesti, hamba takut akan singitnya kayu Sriputa dan wingitnya sang raja segera raden arya Basukesti menebang kayu Sriputa, Janaloka segera berucap ,Ketahuilah raden setelah tertebang kayu Sriputa, wajah raden kelihatan sangat bercahaya, sesungguhnya singit dan wingit sudah ada pada raden arya Basukesti. Kepada Janaloka, dipesan, Kelak, jika aku menjadi raja, Janaloka datanglah menghadap kepadaku.
Segera setelah prabu Basumurti (Basurata) kembali ke istana, mangkatlah beliau, adik raja, raden arya Basukethi dinobatkan sebagai penggantinya, dengan sebutan Prabu Basukethi raja Wiratha. Janakoka Memenuhi pesan raden arya Basukethi, oleh sang prabu Wiratha, diangkatlah sebagai warga istana, dengan gelar arya Janaloka. Kepada segenap empu dan pandai besi istana Wiratha, sang raja menginginkan dibuatnya macam ragam alat-alat bunyi-bunyian kelengkapan perang, yaitu: gurnang, thong-thong grit, gubar, puk-sur, teteg, gendhang, bendhe, gong dan beri. Patih Jatidhendha berdatang sembah, melaporkan, melaporkan muksanya Resi Brahmana Kestu, pula diceritakannya tampak sekarang ditempat kediaman Brahmakestu suatu keelokan, adanya Jamurdipa yang tumbuh. Sang raja segera menyaksikannya, Jamurdipa yang bercahaya bagaikan meraih angkasa segera hilang, tampak oleh sang raja cahaya pula yang terang benderang yang beralih diwajah sripaduka Basukethi.
Raja Wiratha, Basukesthi merasa dirinya sangat waskitha dalam segala hal lagi pula sangat arif dan bijaksana.
Sakutrem mempersunting Dewi Nilawati
Di pertapan Saptaarga, dengan dihadap oleh puthut Supalawa (kera putih), sang resi Manumayasa menerima kehadiran puteranya, Bambang Sakutrem. Berkatalah Sakutrem, Ayah, sepeninggal ananda dari wukir Retawu, dihutan telah ananda bunuh sepasang raksasa, bernama Haswana dan Haswani, di perjalanan hutan Silu, menuju wukir Retawu anannda bertemu dengan seekor naga, kami tewaskan pula. Hilangnya naga, tampak oleh anannda adanya bidadari, anannda kejar, tetapi ananda akhirnya tak dapat menemukan kemana perginya. Sang resi Manumayasa merasa bahwa puteranya Bambang Sakutrem telah jatuh cinta pada wanita, tak lama Hyang Narada berkenan berdatang dipertapan Saptaarga, berkatalah, Hai, resi Manumayasa, ketahuilah olehmu sesungguhnya wanita yang tampak oleh anakmu itu, adalah bidadari , yang berasal dari naga yang dibunuh oleh Sakutrem cucuku, sebaiknyalah kau pergi kegunung Pujangkara, Nilawati mengadakan sayembara, kepada siapa yang dapat meneguk air di kendi Pratola yang dihadapnya, dialah yang akan menjadi suaminya. Berangkatlah Bambang Sakutrem ke wukir Pujangkara, untuk memasuki sayembara yang diadakan Dewi Nilawati.
Syahdan, Begawan Dwapara bersama-sama kemenakannya prabu Drumanasa, raja Madhendha, juga berangkat ke gunung Pujangkara, untuk memasuki sayembara.
Bagawan Dwapara memulai meneguk isi kendhi Pratolo, mundurlah sang Begawan dikarenakan isi kendhi Pratala, mundurlah sang Begawan dikarenakan isi kendhi Pratala dirasa sangat panasnya, bergantian dengan prabu Drumanasa, juga tak tahan akan isi kendhi Pratala.
Bambang Sakutrem segera meneguk isi kendhi Pratala, dihabiskannya seluruh isi kendhi tersebut, Dewi Nilawati menyerahkan diri kepada Bambang Sakutrem sebagai pemenang seyembara, diajaklah sang dewi ke Pertapaan Saptaarga.
Sekembalinya dari gunung Pujangkara, sang bagawan merasa malu hatinya, dan berketatapan akan merebut Dewi Nilawati ke partapan Saptaarga. Berangkatlah sang Begawan diiringi oleh sang prabu Drumanasa dan segenap prajuritnya dari Badhendha. Perang terjadi di gunung Retawu, puthut Supalawa dan Bambang Sakutrem dapat menewaskan musuh-musuhnya.
Seorang cantrik bernama Janaloka sedang tekun menunggu pohon Sriputa, tak tergoyahlah hatinya untuk mengumpulkan uang sedekah raja yang berserakan disekitarnya. Raja Basumurti segera mengutus adiknya yang bernama raden arya Basukesti, untuk menanyainya, berkatalah, Hai, Janaloka, apa sebab kau tak sudi mengumpulkan uang sedekah raja?. Dijawabnya, Raden, takut hamba akan singit dan wingit, raden arya Basukesti melanjutkan pertanyaannya, apa yang kaumaksudkan dengan kata-katamu itu?. Janaloka menerangkanya, Wahai raden arya Basukesti, hamba takut akan singitnya kayu Sriputa dan wingitnya sang raja segera raden arya Basukesti menebang kayu Sriputa, Janaloka segera berucap ,Ketahuilah raden setelah tertebang kayu Sriputa, wajah raden kelihatan sangat bercahaya, sesungguhnya singit dan wingit sudah ada pada raden arya Basukesti. Kepada Janaloka, dipesan, Kelak, jika aku menjadi raja, Janaloka datanglah menghadap kepadaku.
Segera setelah prabu Basumurti (Basurata) kembali ke istana, mangkatlah beliau, adik raja, raden arya Basukethi dinobatkan sebagai penggantinya, dengan sebutan Prabu Basukethi raja Wiratha. Janakoka Memenuhi pesan raden arya Basukethi, oleh sang prabu Wiratha, diangkatlah sebagai warga istana, dengan gelar arya Janaloka. Kepada segenap empu dan pandai besi istana Wiratha, sang raja menginginkan dibuatnya macam ragam alat-alat bunyi-bunyian kelengkapan perang, yaitu: gurnang, thong-thong grit, gubar, puk-sur, teteg, gendhang, bendhe, gong dan beri. Patih Jatidhendha berdatang sembah, melaporkan, melaporkan muksanya Resi Brahmana Kestu, pula diceritakannya tampak sekarang ditempat kediaman Brahmakestu suatu keelokan, adanya Jamurdipa yang tumbuh. Sang raja segera menyaksikannya, Jamurdipa yang bercahaya bagaikan meraih angkasa segera hilang, tampak oleh sang raja cahaya pula yang terang benderang yang beralih diwajah sripaduka Basukethi.
Raja Wiratha, Basukesthi merasa dirinya sangat waskitha dalam segala hal lagi pula sangat arif dan bijaksana.
Sakutrem mempersunting Dewi Nilawati
Di pertapan Saptaarga, dengan dihadap oleh puthut Supalawa (kera putih), sang resi Manumayasa menerima kehadiran puteranya, Bambang Sakutrem. Berkatalah Sakutrem, Ayah, sepeninggal ananda dari wukir Retawu, dihutan telah ananda bunuh sepasang raksasa, bernama Haswana dan Haswani, di perjalanan hutan Silu, menuju wukir Retawu anannda bertemu dengan seekor naga, kami tewaskan pula. Hilangnya naga, tampak oleh anannda adanya bidadari, anannda kejar, tetapi ananda akhirnya tak dapat menemukan kemana perginya. Sang resi Manumayasa merasa bahwa puteranya Bambang Sakutrem telah jatuh cinta pada wanita, tak lama Hyang Narada berkenan berdatang dipertapan Saptaarga, berkatalah, Hai, resi Manumayasa, ketahuilah olehmu sesungguhnya wanita yang tampak oleh anakmu itu, adalah bidadari , yang berasal dari naga yang dibunuh oleh Sakutrem cucuku, sebaiknyalah kau pergi kegunung Pujangkara, Nilawati mengadakan sayembara, kepada siapa yang dapat meneguk air di kendi Pratola yang dihadapnya, dialah yang akan menjadi suaminya. Berangkatlah Bambang Sakutrem ke wukir Pujangkara, untuk memasuki sayembara yang diadakan Dewi Nilawati.
Syahdan, Begawan Dwapara bersama-sama kemenakannya prabu Drumanasa, raja Madhendha, juga berangkat ke gunung Pujangkara, untuk memasuki sayembara.
Bagawan Dwapara memulai meneguk isi kendhi Pratolo, mundurlah sang Begawan dikarenakan isi kendhi Pratala, mundurlah sang Begawan dikarenakan isi kendhi Pratala dirasa sangat panasnya, bergantian dengan prabu Drumanasa, juga tak tahan akan isi kendhi Pratala.
Bambang Sakutrem segera meneguk isi kendhi Pratala, dihabiskannya seluruh isi kendhi tersebut, Dewi Nilawati menyerahkan diri kepada Bambang Sakutrem sebagai pemenang seyembara, diajaklah sang dewi ke Pertapaan Saptaarga.
Sekembalinya dari gunung Pujangkara, sang bagawan merasa malu hatinya, dan berketatapan akan merebut Dewi Nilawati ke partapan Saptaarga. Berangkatlah sang Begawan diiringi oleh sang prabu Drumanasa dan segenap prajuritnya dari Badhendha. Perang terjadi di gunung Retawu, puthut Supalawa dan Bambang Sakutrem dapat menewaskan musuh-musuhnya.
0 comments:
Post a Comment