Searching...

Popular Posts

Thursday, June 20, 2013

Kidung Malam 49

7:30 AM

Peristiwa Bale Sigala-gala sangat menggemparkan seluruh kawula Hastinapura. Bukan karena bangunan yang elok asri itu ludes terbakar, tetapi terutama karena Anak-anak Pandudewanata calon raja yang didambakan rakyat menjadi korban. Pandita Durna yang pada waktu kejadian belum berperan banyak selain sebagai guru dari warga Pandawa dan warga Korawa, ikut prihatin dan bersedih, pasalnya karena dua murid terbaiknya yakni Bimasena dan Herjuna menjadi korban.

Jika oleh banyak orang peristiwa Bale Sigala-gala dicatat sebagai tragedi pilu umat manusia, namun tidak oleh Patih Sengkuni. Ludesnya Bale Sigala-gala sama artinya dengan sirnanya penghalang yang merintangi ambisinya untuk mendudukan Doryudana di tahta Hastinapura. Oleh karenanya patut disambut dengan sukaria. Tetapi benarkah Sengkuni berhasil menyingkirkan para Pandawa? Memang sementara ini kawula Hastinapura mempercayai bahwa warga Pandawa telah mati.

“Telah Mati!? Ucapkan sekali lagi Sengkuni dengan sejelas-jelasnya!

“Ampun Kakanda Prabu, memang benarlah adanya. Kami tidak dapat berbuat apa-apa. Api terlalu cepat berkobar dan menghabiskan Pesanggrahan Bale-Sigala se isisnya. Termasuk Kakang Mbok Kunthi, dan ananak-anaknya, juga Purucona sang arsitek itu.’

Destarastra menyesali dirinya yang dilahirkan buta. Karena dengan tidak dapat melihat, banyak kendala-kendala yang dihadapi dalam memerintahkan negara besar seperti Hastinapura ini. Ia selama ini hanya mengandalkan laporan-laporan yang sering tidak sesuai dengan kenyataannya. Bahkan tidak jarang yang merah dilaporkan hijau dan yang kuning dilaporkankan putih. Tergantung dari kepentingan yang melaporkan. Sedih rasa menjadi raja tidak dapat mengerti kondisi yang sebenarnya dari rakyatnya. Kalau tidak karena rasa cintanya kepada Pandu adiknya, sesungguhnya ia tidak mau menduduki tahta Hastinapura. Jika pun dirinya berambisi menjadi raja, tentunya sebagi anak sulung laki-laki dari Prabu Kresnadwipayana, raja Hastinapura sebelumnya. ia akan bersikeras menduduki tahta. Namun karena menyadari keterbatasannya, dengan tulus ia merelakan tahta Hastinapura kepada adiknya.

Namun yang terjadi selanjutnya adalah bahwa tahta kembali pada dirinya. Pandu telah wafat akibat kutukan Resi Kimindama. Destarastra memerintah negara Hastinapura dengan segala keterbatasannya. Satu hal yang masih dipegang teguh oleh Destarastra, yaitu bahwa tahta Hastinapura ini adalah titipan Pandu untuk diwariskan kepada anak-anaknya. Tinggal menunggu waktu. Yamawidura adik bungsu Destarastra ditugaskan untuk mendampingi anak-anak Pandu dan mempersiapkan lahir batin, agar pantas menjadi raja.

Selang waktu mulai dari meninggalnya Pandudewanata hingga sampai para Pandhawa tumbuh dewasa dan siap menjadi raja inilah yang dimanfaat oleh Patih Sengkuni dan Gendari. Mereka menyusun rencana untuk mendudukan Duryudana menjadi raja. Salah satunya usaha yang dilakukan mereka adalah menjebak Destarastra dengan undang-undang kerajaan yang berbunyi bahwa setiap anak sulung laki-laki raja yang usianya sudah mencukupi, wajib diwisuda menjadi Putra Mahkota. Destarastra menolak. Ia tahu kelicikan Patih Sengkuni dan Gendari, isterinya. Jika Destarsatra mewisuda Duryudana sebagai Putra Mahkota, sama halnya dengan menjilat ludahnya sendiri, menarik tahtanya dari Pandu dan memberikannya kepada Duryudana anaknya.

Cara kasarpun pernah dilakukan, yaitu dengan meracun Bimasena yang menjadi kekuatan Pandawa. Namun gagal. Dan sekarang dengan cara yang lebih kasar dan keji, yaitu dengan membakar para pandawa dalam arena pesta.

Oleh karenanya Destarastra dapat menangkap kelicikan dan kepalsuan melalui laporan Patih Sengkuni peri hal tragedi Bale Sigala-gala. Destarastra marah besar. Ia tak kuasa mengendalikan dirinya ketika mendengar kabar kematian Kunti dan Pandawa. Destarastra tak kuasa mengeluarkan kata-kata, badannya bergetar, giginya gemeretak. Dari kedua tangannya muncul asap tipis berwarna merah.

“Lebur Sekethi!” Sengkuni gemetar ketakutan, ia bergeser menjauh dari Prabu Destarastra. Para Abdi, Kerabat, Punggawa, Senapati dan Permaisuri panik ketakutan. Telapak tangan Prabu Destarastra yang telah berisi aji Lebur Sekethi diarahkan ke tempat Patih Sengkuni duduk.

“Dhuaaarr”

Suara menggelegar menggema di sitihinggil. Kursi kepatihan lebur jadi debu, dan menyisakan lobang di lantai yang cukup besar dan dalam

Semua diam, tak ada yang berani mengeluarkan suara. Prabu Destarastra tersengal napasnya. Ia duduk lemas di kursi raja, kursi yang banyak direbutkan orang. Pandangannya seakan menerawang jauh dan jauh sekali. Benarkah Kunthi dan anak-anaknya telah mati? Rasanya tidak mungkin. Bukankah masih ada tugas yang harus dikerjakan? Diantaranya adalah menyeimbangkan negara Hastinapura dari perilaku yang tidak baik dan perilaku yang baik

Gendari tahu persis bagaimana harus mendampingi Destarastra. Setelah cukup lama Sang Prabu dibiarkan terbang dengan pikirannya dan menyelam dalam perasaannya, Gendari mendekati Sang Prabu dan meraba dadanya dengan penuh kelembutan.

“Sang Prabu, hari menjelang senja, perlulah kiranya Sang Prabu mandi agar badan menjadi segar dan pikiran menjadi dingin.”

Destarastra tidak menolak, ketika dirinya dituntun oleh isterinya yang walaupun tidak suka dengan perilakunya, namun sebenarnya sangat ia sayangi.


source: google.com

0 comments:

Post a Comment