Suasana negeri Hastina mendadak gerah. Angin kemarau yang meluncur dari Gunung Argakelasa seperti memancarkan aura panas yang membadai dan mengancam. Pepohonan kering dan meranggas. Bumi Hastina seperti dihantam badai panas dan kekeringan yang panjang dan dahsyat. Istana Hastina yang biasanya sejuk dan nyaman pun tak sanggup membendung badai panas yang terus meluncur dari lereng sebuah gunung di perbatasan itu. Presiden Duryudana yang tengah sibuk memimpin sidang Kabinet Hastina berkali-kali mengelap jidatnya yang panas dan basah. Entah, sudah berapa helai selampai yang masuk ke keranjang sampah.
“Pak Wapres, kemarau tahun ini rasanya kok beda dengan biasanya. Saya yakin ini pasti ada yang tidak beres!” sergah sang Presiden di tengah kecamuk suasana ruang kerjanya yang gerah.
“Walah, walah, bisa jadi benar, Bapak. Mungkin ada pihak yang dengan sengaja hendak mencelakai kita!” jawab Sengkuni, sang Wapres dengan mulut setengah menganga sembari cengengesan.
“Tapi maaf, Bapak Presiden. Menurut hasil penelitian dari staf kami, tingginya panas di Hastina ini akibat ulah para pengemplang hutan yang dengan sewenang-wenang mengeksploitasi hutan seenaknya, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan,” sahut Aswatama, Menteri Lingkungan Hidup, dengan wajah tertunduk.
“He, apa maksud Pak Menteri? ”
“Mmm ….. begini, Pak. Berdasarkan hasil penelitian para staf di kementerian, eksploitasi hutan di Hastina sudah berada di ambang batas kehancuran. Jika tidak segera dihentikan, bencana demi bencana akan terus terjadi. Panas dan kekeringan tahun ini menjadi salah satu dampaknya. Demikian, informasi yang saya terima.
Berikut ini laporan lengkapnya!” jawab Aswatama sambiol menyerahkan segepok laporan.
Mata Presiden Duryudana membelalak. Dalam laporan itu, tertulis jelas nama-nama perusahaan yang dinilai sudah melakukan pelanggaran. Padahal, mereka yang berada di balik perusahaan itu adalah sebuah konglomerasi kelas kakap yang selama ini telah memberikan banyak kemudahan dan fasilitas kepada dirinya dan keluarganya. Wajah sang Presiden yang gerah itu mendadak memerah. Rahangnya yang kokoh makin mengeras.
“Saya tidak percaya! Laporan ini jelas mengada-ada. Saya justru curiga, jangan-jangan Pak Aswatama hanya ingin buat sensasi murahan. Mereka yang saya beri wewenang untuk mengelola hutan di Hastina adalah sosok yang benar-benar terpercaya. Pak Wapres, bagaimana pendapat Sampeyan!” Para anggota kabinet serentak membelalakkan bola mata. Mereka seperti tengah menyaksikan sang Presiden yang sedang berada dalam amarah yang memuncak. Mereka serentak menundukkan kepala sambil mencuri pandang dengan sesama koleganya.
“Wah, apa yang Bapak sampaikan itu benar adanya. Pak Aswatama pasti sudah keliru dalam menyampaikan laporan. Pantas saja, Pak Aswatama ini kan putra kesayangan Bapak Guru Durna yang bermuka dua. Lahirnya berpihak kepada Kurawa, tetapi hatinya sesungguhnya hanya untuk Pendawa!” sahut Sangkuni dengan sorot mata yang licik.
“Stop! Pak Wapres jangan bawa-bawa ayah saya dalam persoalan ini. Apa yang saya laporkan benar-benar berdasarkan falta yang sudah bertahun-tahun lamanya dikumpulkan dan diverifikasi!” sergah Aswatama dengan tatapan mata tajam ke wajah Sengkuni.
“Cukup! Apa pun isi laporan itu, saya tidak percaya! Sekarang bubar!” bentak sang Presiden.
Baru saja para menteri beranjak dari tempat duduk, mendadak seorang tentara dengan sikap tegap dan sempurna menghadap kepada Presiden Duryudana.
“Lapor! Di luar sana, para penduduk berbondong-bondong menuju lereng Gunung Argakelasa! Laporan selesai!”
Bola mata Duryudana kembali liar dan membelalak. Penguasa Hastina itu segera mengerlingkan bola matanya dan mengajak sang Wapres menuju ruang pribadinya. Tak tahu pasti, apa yang sedang mereka perbincangkan. Yang pasti, keesokan harinya, terjadi kegemparan di lereng Gunung Argakelasa.
***
Konon di salah satu lereng Gunung Argakelasa, berdiri sebuah sekolah darurat sebagai sekolah alternatif untuk memberikan bekal keilmuan kepada para generasi muda Hastina yang selama ini gagal tercerahkan ketika menuntut ilmu di bangku pendidikan formal. Institusi pendidikan tersebut didirikan oleh Bima Suci, seseorang yang mengaku telah mendapatkan ilmu kesempurnaan hidup dari Sang Hyang Wenang. Visi pendidikan yang diluncurkan adalah melahirkan generasi masa depan yang cerdas, kritis, bermoral, bermartabat, berbudaya, religius, demokratis, dan berwawasan kebangsaan. Itulah pesan yang harus dijalankan oleh sang Bima Suci sebagai bagian dari darma dan laku hidupnya. Karena visinya yang dinilai tampil beda dan menjanjikan sebuah perubahan, banyak murid Hastina yang selama ini duduk di bangku pendidikan formal, berbondong-bondong pindah ke sekolah darurat. Bahkan, banyak penduduk dari negeri lain yang menyekolahkan anaknya ke sekolah yang tak pernah mengenal ujian nasional itu. Setiap murid diberikan kebebasan untuk mengembangkan diri sesuai dengan minat dan potensinya. Guru hanya sekadar jadi fasilitator dan mediator yang ramah kepada siswa didik.
Situasi pendidikan alternatif yang dianggap “memberontak” seperti itu jelas membuat penguasa Hastina gerah. Sudah jadi rahasia umum bahwa pendidikan formal di negeri Hastina tak lebih dari sebuah lembaga yang sengaja didesain untuk melahirkan “generasi kacung” yang harus selalu tunduk pada kemauan dan selera sang penguasa. Para murid di-indoktrinasi untuk menjadi generasi anak mami, bukan generasi yang cerdas dan kritis. Tugas pelajar adalah menjadi penghafal kelas wahid, untuk selanjutnya diuji secara massal dalam sebuah ujian nasional yang sarat dengan kecurangan dan manipulasi. Ironisnya, ujian yang salah urus seperti itu menjadi salah satu kebanggaan kemajuan Hastina melalui parameter kenaikan bobot kelulusan dari tahun ke tahun. Akibat atmosfer pendidikan yang amburadul seperti itu, masa depan generasi muda Hastina makin tenggelam dalam kebodohan dan keterbelakangan.
Hanya penguasa yang boleh pintar dan cerdik mengatur orang. Tak heran jika dari tahun ke tahun, keluaran pendidikan formal negeri Hastina hanya bisa menjadi kacung di negeri orang dengan nasib tak menentu. Merek sering disakiti dan dinistakan. Hastina tak ingin mengubah nasib para kacung itu, sebab takut kehilangan pundi-pundi devisa yang selama ini terus mengucur ke dalam kantong sang penguasa.
Karena tak ingin menjadi kerikil bagi penguasa Hastina dalam mengindoktrinasi dan “mencuci otak” generasi masa depan Hastina, maka dengan segenap kekuatan dan daya ikhtiar, Sengkuni segera memerintahkan tentara Hastina untuk menutup dengan paksa sekolah yang didirikan oleh Bima Suci itu. Terjadi perlawanan sengit. Ribuan murid yang mengatasnamakan dirinya “Laskar Lereng Argakelasa” menghadang tentara Hastina di bawah komando Sengkuni yang bersenjata lengkap. Para murid serentak membentuk barikade untuk mengamankan dan menyelamatkan sang Bima Suci, guru yang amat mereka cintai dan idolakan, dari kekerasan tentara Hastina.
Namun, perlawanan “Laskar Lereng Argakelasa” sia-sia. Mereka gagal menghentikan amarah para tentara yang demikian buas dan liar memberondongkan timah panas ke barisan para laskar. Beberapa di antara mereka telah terkapar mencium tanah. Mereka pun tak sanggup berbuat apa-apa ketika para tentara Hastina menggelandang dan menyeret sang Bima dalam keadaan tangan terborgol.
Namun, nasib sang Bima terselamatkan oleh kehadiran pasukan Pendawa yang dipimpin sang veteran Semar yang sudah lama sekali tidak menampakkan batang hidungnya ke tengah publik. Dengan sisa-sisa kepiawaiannya dalam berdiplomasi, Semar menyatakan bahwa sesungguhnya sang Bima Suci adalah Bima, putra Pendawa, yang tengah menjalankan misi dan darma pengabdian hidup sesuai dengan amanah Sang Hyang Wenang dalam sebuah pengembaraan yang amat dramatis di tengah samudra. Namun, rupanya Sengkuni tetap bersikukuh untuk mengadili sang Bima Suci yang dianggap telah melakukan tindakan subversif dengan mencekoki doktrin-doktrin membahayakan kepada generasi muda Hastina.
Suasana percek-cokan antara Semar dan Sengkuni membuat pengawasan para prajurit Hastina terhadap Bima mengendur. Dengan kekuatan yang masih tersisa, Bima berteriak garang hingga borgol yang membelenggunya terlepas. Lantas, dengan amarah yang memuncak, Bima mengamuk membabi buta. Para prajurit Hastina terkesiap. Mereka tak menduga kalau Bima bakal melakukan serangan balik yang begitu telak. Dengan pentungan di tangan, putra penengah Pendawa itu terus berteriak dan memutar pentungan laksana kitiran hingga membuat Sengkuni dan prajuritnya kalang kabut. *** (Tancep kayon)
Sumber : http:// wayang.wordpress.com/ category/wayang-lakon/ mahabharata/page/3/
— karo Badhiva Lanang Aldani.“Pak Wapres, kemarau tahun ini rasanya kok beda dengan biasanya. Saya yakin ini pasti ada yang tidak beres!” sergah sang Presiden di tengah kecamuk suasana ruang kerjanya yang gerah.
“Walah, walah, bisa jadi benar, Bapak. Mungkin ada pihak yang dengan sengaja hendak mencelakai kita!” jawab Sengkuni, sang Wapres dengan mulut setengah menganga sembari cengengesan.
“Tapi maaf, Bapak Presiden. Menurut hasil penelitian dari staf kami, tingginya panas di Hastina ini akibat ulah para pengemplang hutan yang dengan sewenang-wenang mengeksploitasi hutan seenaknya, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan,” sahut Aswatama, Menteri Lingkungan Hidup, dengan wajah tertunduk.
“He, apa maksud Pak Menteri? ”
“Mmm ….. begini, Pak. Berdasarkan hasil penelitian para staf di kementerian, eksploitasi hutan di Hastina sudah berada di ambang batas kehancuran. Jika tidak segera dihentikan, bencana demi bencana akan terus terjadi. Panas dan kekeringan tahun ini menjadi salah satu dampaknya. Demikian, informasi yang saya terima.
Berikut ini laporan lengkapnya!” jawab Aswatama sambiol menyerahkan segepok laporan.
Mata Presiden Duryudana membelalak. Dalam laporan itu, tertulis jelas nama-nama perusahaan yang dinilai sudah melakukan pelanggaran. Padahal, mereka yang berada di balik perusahaan itu adalah sebuah konglomerasi kelas kakap yang selama ini telah memberikan banyak kemudahan dan fasilitas kepada dirinya dan keluarganya. Wajah sang Presiden yang gerah itu mendadak memerah. Rahangnya yang kokoh makin mengeras.
“Saya tidak percaya! Laporan ini jelas mengada-ada. Saya justru curiga, jangan-jangan Pak Aswatama hanya ingin buat sensasi murahan. Mereka yang saya beri wewenang untuk mengelola hutan di Hastina adalah sosok yang benar-benar terpercaya. Pak Wapres, bagaimana pendapat Sampeyan!” Para anggota kabinet serentak membelalakkan bola mata. Mereka seperti tengah menyaksikan sang Presiden yang sedang berada dalam amarah yang memuncak. Mereka serentak menundukkan kepala sambil mencuri pandang dengan sesama koleganya.
“Wah, apa yang Bapak sampaikan itu benar adanya. Pak Aswatama pasti sudah keliru dalam menyampaikan laporan. Pantas saja, Pak Aswatama ini kan putra kesayangan Bapak Guru Durna yang bermuka dua. Lahirnya berpihak kepada Kurawa, tetapi hatinya sesungguhnya hanya untuk Pendawa!” sahut Sangkuni dengan sorot mata yang licik.
“Stop! Pak Wapres jangan bawa-bawa ayah saya dalam persoalan ini. Apa yang saya laporkan benar-benar berdasarkan falta yang sudah bertahun-tahun lamanya dikumpulkan dan diverifikasi!” sergah Aswatama dengan tatapan mata tajam ke wajah Sengkuni.
“Cukup! Apa pun isi laporan itu, saya tidak percaya! Sekarang bubar!” bentak sang Presiden.
Baru saja para menteri beranjak dari tempat duduk, mendadak seorang tentara dengan sikap tegap dan sempurna menghadap kepada Presiden Duryudana.
“Lapor! Di luar sana, para penduduk berbondong-bondong menuju lereng Gunung Argakelasa! Laporan selesai!”
Bola mata Duryudana kembali liar dan membelalak. Penguasa Hastina itu segera mengerlingkan bola matanya dan mengajak sang Wapres menuju ruang pribadinya. Tak tahu pasti, apa yang sedang mereka perbincangkan. Yang pasti, keesokan harinya, terjadi kegemparan di lereng Gunung Argakelasa.
***
Konon di salah satu lereng Gunung Argakelasa, berdiri sebuah sekolah darurat sebagai sekolah alternatif untuk memberikan bekal keilmuan kepada para generasi muda Hastina yang selama ini gagal tercerahkan ketika menuntut ilmu di bangku pendidikan formal. Institusi pendidikan tersebut didirikan oleh Bima Suci, seseorang yang mengaku telah mendapatkan ilmu kesempurnaan hidup dari Sang Hyang Wenang. Visi pendidikan yang diluncurkan adalah melahirkan generasi masa depan yang cerdas, kritis, bermoral, bermartabat, berbudaya, religius, demokratis, dan berwawasan kebangsaan. Itulah pesan yang harus dijalankan oleh sang Bima Suci sebagai bagian dari darma dan laku hidupnya. Karena visinya yang dinilai tampil beda dan menjanjikan sebuah perubahan, banyak murid Hastina yang selama ini duduk di bangku pendidikan formal, berbondong-bondong pindah ke sekolah darurat. Bahkan, banyak penduduk dari negeri lain yang menyekolahkan anaknya ke sekolah yang tak pernah mengenal ujian nasional itu. Setiap murid diberikan kebebasan untuk mengembangkan diri sesuai dengan minat dan potensinya. Guru hanya sekadar jadi fasilitator dan mediator yang ramah kepada siswa didik.
Situasi pendidikan alternatif yang dianggap “memberontak” seperti itu jelas membuat penguasa Hastina gerah. Sudah jadi rahasia umum bahwa pendidikan formal di negeri Hastina tak lebih dari sebuah lembaga yang sengaja didesain untuk melahirkan “generasi kacung” yang harus selalu tunduk pada kemauan dan selera sang penguasa. Para murid di-indoktrinasi untuk menjadi generasi anak mami, bukan generasi yang cerdas dan kritis. Tugas pelajar adalah menjadi penghafal kelas wahid, untuk selanjutnya diuji secara massal dalam sebuah ujian nasional yang sarat dengan kecurangan dan manipulasi. Ironisnya, ujian yang salah urus seperti itu menjadi salah satu kebanggaan kemajuan Hastina melalui parameter kenaikan bobot kelulusan dari tahun ke tahun. Akibat atmosfer pendidikan yang amburadul seperti itu, masa depan generasi muda Hastina makin tenggelam dalam kebodohan dan keterbelakangan.
Hanya penguasa yang boleh pintar dan cerdik mengatur orang. Tak heran jika dari tahun ke tahun, keluaran pendidikan formal negeri Hastina hanya bisa menjadi kacung di negeri orang dengan nasib tak menentu. Merek sering disakiti dan dinistakan. Hastina tak ingin mengubah nasib para kacung itu, sebab takut kehilangan pundi-pundi devisa yang selama ini terus mengucur ke dalam kantong sang penguasa.
Karena tak ingin menjadi kerikil bagi penguasa Hastina dalam mengindoktrinasi dan “mencuci otak” generasi masa depan Hastina, maka dengan segenap kekuatan dan daya ikhtiar, Sengkuni segera memerintahkan tentara Hastina untuk menutup dengan paksa sekolah yang didirikan oleh Bima Suci itu. Terjadi perlawanan sengit. Ribuan murid yang mengatasnamakan dirinya “Laskar Lereng Argakelasa” menghadang tentara Hastina di bawah komando Sengkuni yang bersenjata lengkap. Para murid serentak membentuk barikade untuk mengamankan dan menyelamatkan sang Bima Suci, guru yang amat mereka cintai dan idolakan, dari kekerasan tentara Hastina.
Namun, perlawanan “Laskar Lereng Argakelasa” sia-sia. Mereka gagal menghentikan amarah para tentara yang demikian buas dan liar memberondongkan timah panas ke barisan para laskar. Beberapa di antara mereka telah terkapar mencium tanah. Mereka pun tak sanggup berbuat apa-apa ketika para tentara Hastina menggelandang dan menyeret sang Bima dalam keadaan tangan terborgol.
Namun, nasib sang Bima terselamatkan oleh kehadiran pasukan Pendawa yang dipimpin sang veteran Semar yang sudah lama sekali tidak menampakkan batang hidungnya ke tengah publik. Dengan sisa-sisa kepiawaiannya dalam berdiplomasi, Semar menyatakan bahwa sesungguhnya sang Bima Suci adalah Bima, putra Pendawa, yang tengah menjalankan misi dan darma pengabdian hidup sesuai dengan amanah Sang Hyang Wenang dalam sebuah pengembaraan yang amat dramatis di tengah samudra. Namun, rupanya Sengkuni tetap bersikukuh untuk mengadili sang Bima Suci yang dianggap telah melakukan tindakan subversif dengan mencekoki doktrin-doktrin membahayakan kepada generasi muda Hastina.
Suasana percek-cokan antara Semar dan Sengkuni membuat pengawasan para prajurit Hastina terhadap Bima mengendur. Dengan kekuatan yang masih tersisa, Bima berteriak garang hingga borgol yang membelenggunya terlepas. Lantas, dengan amarah yang memuncak, Bima mengamuk membabi buta. Para prajurit Hastina terkesiap. Mereka tak menduga kalau Bima bakal melakukan serangan balik yang begitu telak. Dengan pentungan di tangan, putra penengah Pendawa itu terus berteriak dan memutar pentungan laksana kitiran hingga membuat Sengkuni dan prajuritnya kalang kabut. *** (Tancep kayon)
Sumber : http://
Gabung di FP kami yuk : http://facebook.com/caritawayang
0 comments:
Post a Comment