Searching...

Popular Posts

Monday, November 19, 2012

Kidung Malam (37) - Kembali ke Paranggelung

10:19 PM

Adakah yang mengecewakanmu Ngger anakku si Aswatama? Hingga tanpa pamit tanpa berita engkau tinggalkan begitu saja bapakmu ini dan bumi Sokalima. Tidakkah engkau menyayangiku Ngger? Apa salahku Tole?

Dalam kebingungan Durna menemui Harjuna, untuk memasrahkan anak semata wayang si Aswatama yang tanpa pamit telah meninggalkan Sokalima bersamaan dengan Ekalaya dan Anggraeni sahabatnya.

“Harjuna, Harjuna, tolonglah aku, susullah Aswatama, dan ajak kembali, jangan perbolehkan ia pergi meninggalkan aku sendirian.”

Melihat kecemasan dan kebinggungan sang guru, Harjuna merasa iba. Maka dengan serta-merta Harjuna menyanggupi untuk mencari Aswatama.dan segera berangkat meninggalkan Sokalima. Durna sedikit lega. Ia memandangi Harjuna hingga hilang dari pandangan, kemudian masuk ke ruang dalam untuk menenangkan hati. Jika sudah demikian tak ada cantrik yang berani mengganggu.

Matahari baru sepenggalah. Walaupun Harjuna sudah meningkatkan kemampuannya untuk memacu kudanya dengan cepat, ketiga orang yang dimaksud belumlah tersusul. Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama seakan hilang ditelan bumi.

Syahdan, perjalanan Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama telah memasuki pintu gerbang tapal batas Negara Paranggelung. Kabar segera tersiar bahwa Raja yang telah pergi lebih dari tiga tahun kini telah datang. Kawula Paranggelung mulai berdatangan di sepanjang jalan yang dilalui Sang Raja. Di hadapan kawula yang mengelu-elukannya Ekalaya yang berada di punggung kuda, dibarengi oleh Anggraeni dan Aswatama, mencoba menutupi deritanya dengan senyum dan keramahan.

“Raja datang!”
“Raja jaya!”
“Hidup Sang Raja”
“Hidup!!!”

Mata Rakyat adalah kejujuran. Hati rakyat adalah ketulusan. Oleh karenanya ketika sang Raja membalas sambutan rakyat dengan senyuman dan lambaian tangan, mereka telah menangkap, ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Terlebih lagi ketika dilihatnya tangan kanan sang raja sudah tidak utuh lagi, tanpa ibu jari. Tentunya ada derita dalam di balik lukanya. Bagaimana tidak! Bagi kawula Paranggelung, yang sebagian besar rakyatnya pandai berolah senjata panah, tentunya akan sangat kehilangan jika tangan kanannya tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya. Oh alangkah menderitanya rajaku. Sang Prabu apa yang terjadi? Siapakah yang telah menganiaya paduka?

Teriakan gegap gempita dari rakyat Paranggelung itu pun akhirnya berangsur-angsur surut, hambar dan kemudian berubah menjadi isak tangis kesedihan.

Jangan cemas rakyatku yang setia, akan kujelaskan dengan sejujurnya apa yang telah menimpa diriku. Yang pasti tidak ada derita. Jika pun ada derita pasti ringan jadinya karena kesetiaan rakyatku yang rela ikut memikulnya.

Memang sejak Ekalaya menjadi raja menggantikan ayahnya, hubungan antara raja dan rakyatnya itu terjalin dengan harmonis, penuh ketulusan. Rakyat sungguh mencintai rajanya, karena sang raja lebih dahulu mencintai rakyatnya. Antara raja dan kawulanya saling berbagi, saling melengkapi.

Lepas dari perhatian orang banyak, ternyata Harjuna sudah berada di antara Rakyat Paranggelung. Perkiraannya tepat bahwa Aswatama akan mengikuti pasangan Ekalaya ke Paranggelung. Maka ketika ia mencari tahu letak Negara Paranggelung, bergegaslah sang Harjuna dengan ilmu cepatnya memacu kudanya menuju Paranggelung. Bahkan Harjuna lebih dahulu memasuki wilayah Paranggelung, dibandingkan dengan Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama. Oleh karenanya Harjuna boleh menyaksikan, mengalami dan merasakan, betapa besar cinta rakyat kepada rajanya, dan cinta raja kepada rakyatnya. Ada perasaan menyesal mengapa dirinya bermusuhan dengan Ekalaya. Sebab sama pula artinya bahwa dirinya telah memusuhi semua kawula Paranggelung. Lalu bagaimana caranya menyelesaikan persoalan pribadinya dengan Ekalaya tanpa harus melibatkan kawula Paranggelung, dan sekaligus mengajak Aswatama pulang dengan cara damai, atau jika perlu dengan cara kekerasan.

Saat yang ditunggu oleh pembesar negeri dan rakyat Paranggelung telah tiba. Sang Prabu Ekalaya duduk di singgasana --didampingi Dewi Anggraeni dan Aswatama, yang diperkenalkan sebagai sahabatnya-- lalu menceritakan kisah perjalanannya dalam upaya mencari guru ilmu berolah senjata panah yang mumpuni.

Bapa Dorna adalah guru yang pilih tanding. Cacat pada fisiknya tidak mengurangi kesaktian yang dikuasainya. Namun entah mengapa ia melakukan tindakan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang guru kepada muridnya. Atas tragedi getir yang menimpa Ekalaya, seluruh rakyat Paranggelung merasakan kegetirannya

Malam panglong, malam gelap tanpa bulan. Ekalaya dan Anggraeni belum tidur Menurut perasaannya, malam ini tidak seperti malam-malam sebelumnya. Entah mengapa malam ini begitu sepi, gelap mencekam. Kegetiran yang telah dibeberkan kepada rakyatnya justru menjadi bumerang bagi diri sendiri. Ia semakin menderita melihat rakyatnya menderita. Ia semakin bersedih merasakan rakyatnya bersedih. Dalam ketermanguan itu Ekalaya mengatakan sesuatu kepada Anggraeni.

“Diajeng Anggraeni, rasa-rasanya telah tiba saatnya apa yang paling berharga dari kita pun akhirnya akan diambil pula. Sehingga kita tidak punya apa-apa lagi. Yah kita tidak punya apa-apa lagi, termasuk hidup itu sendiri.”

“Pasti Kakangmas, hidup ini akan diambil kembali oleh yang mempunyai hidup dan akan diabadikan. Tetapi kapan waktunya tidak ada seorang pun tahu. Oleh karena itu jangan cemas Kakangmas, aku senantiasa berada di sampingmu.”

Selesai berkata demikian, Anggraeni terkejut melihat raut muka suaminya berubah mendadak.

“Ada apa Kakangmas?!”

Ekalaya merasakan daya aji Pameling yang masuk di telinganya dan menyusup ke hatinya. “Ekalaya, aku tunggu engkau dan Aswatama di luar batas negara Paranggelung, sekarang juga. Dari Harjuna.”



sumber: google.com

0 comments:

Post a Comment