Searching...

Popular Posts

Tuesday, November 13, 2012

Kidung Malam (20) - Dua Sahabat

9:55 PM

Mata Bimasena berkaca-kaca, orang nomor dua dari lima bersaudara yang biasanya keras, tegar itu luluh oleh sikap Prabu Durpada dan Gandamana yang telah merelakan dirinya dan negaranya demi tugas ksatria yang diemban oleh Bima dan saudaranya sebagai pemenuhan janji baktinya kepada sang guru Pandita Durna. Sebelum meninggalkan Pancalaradya, Gandamana berpesan kepada kepala prajurit jaga agar mengamankan negara sebelum kekuasaan diambil alih oleh Pandita Durna yang telah menaklukannya melalui Bimasena, Harjunan dan saudara-saudaranya.

Sementara itu di Padepokan Sokalima, Resi Durna kecewa menyambut kedatangan Duryudana, Dursasana serta saudara-saudaranya. Tidak sesuai dengan sesumbarnya bahwa mereka akan dengan mudah menundukkan Durpada dan Gandamana serta membawanya sebagai tawanan dihadapannya. Namun pada kenyataannya mereka kembali di Sokalima tanpa membawa hasil. Beberapa alasan kegagalan dikemukakan oleh Patih Sengkuni yang sejak semula mengiring para Kurawa. Namun Resi Durna enggan menanggapinya, bahkan sebelum Sengkuni selesai berbicara, ia meninggalkan pendapa induk dan masuk di sanggar pamujan.

Di ruang pemujaan Durna didampingi Aswatama, melakukan SembahHyang dengan membakar dupa-ratus sehingga asapnya dapat membawa permohonannya kepada Hyang Maha Tunggal agar tugas baktinya para Pandhawa membawa Gandamana dan Durpada di Soka Lima berhasil.

Ujung malam yang masih tersisa merupakan kidung-kidung pengharapan menyongsong hari baru yang mampu menyembuhkan sakit hatinya, dan kuasa menghancurkan dendamnya yang telah mengkristal selama bertahun-tahun, kepada sahabatnya, Sucitra.

Saatnya pun tiba, waktu akhirnya berpihak pada Resi Durna. Sebelum matahari bertahta dipuncak langit, Bimasena dan para Pandhawa tiba di Sokalima, dengan membawa tawanan yang diimpi-impikan. Sebentar kemudian orang banyak yang mengikuti iring-iringan telah berkumpul di halaman pendapa.membaur dengan para Cantrik Padepokan dan para Kurawa. Gejolak perasaan Durna gembira luar biasa, melihat kedatangan para murid kepercayaan yang membawa serta Gandamana dan Durpada dalam keadaan terikat. Jika tidak menyadari bahwa dirinya seorang guru besar yang dikelilingi para cantrik-cantriknya, pandita Durna akan melepaskan emosinya dengan meloncat-loncat kegirangan. Namun karena ia menyadari kedudukkannya, maka ia dapat mengendalikan diri. Dengan kata-kata yang arif penuh persahabatan, disuruhnya Bimasena untuk melepaskan tali yang mengikat Prabu Durpada dan Gandamana serta mempersilakan duduk di kursi yang telah disediakan.

Walaupun gejolak perasaannya telah dikendalikan, dendamnya meledak pula, melihat wajah Gandamana yang telah menyiksa dirinya sehingga menderita cacad seumur hidup. Durna membuang emosinya lewat puluhan kali tamparan tangannya ke muka Gandamana, sembari mulutnya mengumpat-umpat sepuasnya. Gandamana diam dalam duduknya. Sesungguhnya hatinya menyesal telah mencelakai Resi Durnya yang ternyata adalah sahabatnya Prabu Durpada. Maka sebagai tebusannya ia membiarkan Resi Durna menyakiti sepuasnya.

Setelah puas menghajar Gandamana, Resi Durna duduk di kursi berhadapan sangat dekat dengan Prabu Durpada.

“Sucitra sahabatku, aku tidak menginginkan persahabatan kita terputus. Maka aku cari engkau di tanah Jawa Namun setelah ketemu engkau yang sudah menjadi raja malu menerimaku sebagai sahabat, karena penampilanku yang miskin dan sudra. Bahkan engkau membiarkan aku di hajar oleh Gandamana. Yah itu masa lalu, yang pasti peristiwa itu masih kita ingat. Peristiwa yang sangat menyakitkan dan menghancurkan hidupku. Tetapi rupanya Hyang Maha Tunggal masih mengasihi aku. Terbukti aku diberi kesempatan hidup dan bangkit menyongsong masa depan yang ternyata lebih indah dan cerah dari pada yang aku banyangkan sebelumnya. Coba lihatlah sekarang aku dapat duduk sejajar dengan raja agung Pancalaradya. Bahkan aku lebih berkuasa, karena engkau sudah aku taklukkan, negara seisinya dan daerah kekuasaanmu menjadi milikku. Namun sebagai sahabat aku akan memenuhi apa yang kau inginkan. Katakanlah Prabu Durpada?”

Dapat dibayangkan, perasaan Durpada saat itu. Sebagai raja besar ia telah direndahkan martabatnya di depan banyak orang. Namun jiwa ksatrianya masih kental di hatinya, maka dengan tak kalah lantang ia menjawab

“Hai Durna! Aku telah kau taklukkan. Negara dan seisinya serta daerah jajahannya menjadi milikmu, termasuk diriku berada dalam kekuasaanmu. Sesuai dengan keadaanku, sebagai seorang taklukan aku tidak akan pernah merengek meminta sesuatu. Apapun yang akan kau perbuat atasku aku terima dengan jiwa ksatria.”

“Ha ha ha, engkau mengakui bahwa aku dapat berbuat apapun atasmu? Termasuk juga mengampuni dan membebaskanmu, jika engkau minta?”

“Sekali lagi Durna, apapun yang kau kehendaki atasku, aku tidak peduli!”

“Baiklah Sang Prabu! aku ingin menunjukkan kepada orang-orang yang menjadi saksi di pendapa ini, bahwa Durna tidak ingin menguasai dan merusak Negara Cempalaradya yang telah kau bangun dengan kebaikan. Seperti halnya Padepokan Sokalima yang telah aku bangun dengan susah payah. Walaupu semula bumi Sokalima termasuk wilayah Cempalaradya, ketika masih berupa hutan sudah aku beli dengan mahal, dengan darah dan dengan sebagian besar dari semangat hidupku. Oleh karenanya bumi Sokalima sekarang menjadi kekuasaanku, engkau tidak boleh menguasainya.”

Durna mendekati Durpada, kedua pasang mata dua orang sahabat itu beradu pandang. Di bola mata sahabatnya, mereka dapat saling melihat kehidupan masa lalu, waktu masih remaja di Hargajembangan. Di bawah asuhan Prabu Baratwaja Sucitra dan Kumbayana disatukan menjadi saudara. Namun sayang gambaran masa remaja yang indah tersebut tidak berlangsung lama, karena bola mata mereka keburu basah oleh air mata sehingga pandangan mereka menjadi kabur.

“Sucitra!”

“Kakang Kumbayana!”

Keduanya berangkulan sangat erat. Ketegangan yang memenuhi tempat itu berubah menjadi keharuan. Para Cantrik dan para murid Sokalima mendapat pelajaran yang sangat berharga, bahwa seorang Raja Agung dan seorang Maha Guru adalah tetap merupakan manusia yang lemah, tak berdaya, setiap waktu dapat jatuh karena sebuah kesalahan. Salah memahami misteri kehidupan yang menjadi kehendakNya.



sumber: google.com

0 comments:

Post a Comment