Searching...

Popular Posts

Wednesday, November 14, 2012

Kidung Malam (21) - Dendam Baru Telah Tumbuh

8:37 PM

Lama kedua sahabat itu berpelukan, rasa sesal Sucitra semakin dalam masuk di hatinya. Mengapa ia menempatkan jabatan berada jauh di atas sebuah perasahabatan. Baru sekarang ia menyadari dan merasakan bahwa ketulusan persahabatan lebih indah dan mulia dibandingkan dengan sebuah jabatan. Sedangkan bagi Kumbayana, ada perasaan kecewa yang amat membekas, mengapa waktu menemui Sucitra yang sudah menjadi raja, ia memperlakukannya sebagai sahabat lama. Padahal sebagai anak raja, ia tahu bagaimana subasitanya menghadap raja yang sedang bertahta.

“Kakang Kumbayana engkau pasti tidak dapat menggambarkan seberapa besar dan dalam rasa sesalku. Karena jika pun aku harus memohon ribuan maaf, badanmu tidak dapat pulih. Engkau tetap menderita seumur hidup. Jika karena pertemuan ini, aku sebagai tawanan telah engkau bebaskan dan negara seisinya engkau kembalikan kepadaku, sesal itu akan semakin menindih sepanjang hidupku. Jika semula aku tidak mengajukan permintaan apapun, memang aku berharap engkau akan menguasai negara Pancalaradya beserta isinya yang telah kau taklukan dan kemudian menyingkirkan atau membunuh aku dan Gandamana. Hanya dengan cara itulah aku telah membayar lunas hutangku.”

“Sucitra, apakah kamu sudah tidak lagi mengenalku? Pernahkah muncul di dalam benakku ambisi untuk berkuasa? Bukankah engkau tahu kedatanganku ke tanah Jawa ini karena menolak jabatan raja di Negara Hargajembangan yang diberikan ayahanda Prabu Baratwaja? Apakah engkau juga pernah melihat aku haus darah, membunuh saudara ataupun sahabat?

“Kakang Kumbayana, dalam perjalanan hidup setiap orang akan berubah. Bukankah engkau telah merasakan perubahan pada diriku? Demikian pula yang aku rasakan bahwa kaupun telah berubah. Kita telah berubah! Kita bukan lagi sahabat. Pertemuan kita kali ini untuk menagih dan membayar hutang.”

Nada bicara Durpada meninggi. Rasa sakit hati atas perlakuan Durna di depan orang banyak telah menyingkirkan kembali rasa persahabatan yang sempat hinggap sejenak di hati.

“Baiklah! Bayarlah hutangmu dengan Bumi Sokalima.”

“Drona! Bumi Sokalima tidak akan ku berikan. Kecuali jika engkau membunuh aku dan Gandamana dan kemudian menguasai Negara Pancalaradaya.

“Engkau ini aneh Durpada, sebagai raja yang kalah perang engkau rela menyerahkan Negara Cempalaradya beserta isinya, tetapi tidak mau menyerahkan Bumi Sokalima yang merupakan bagian kecil dari Negara Pancalaradya”

“Engkau pun aneh Durna, jika engkau mau menerima Negara Cempalaradya, bukankah Bumi Sokalima menjadi milikmu?”

“Sucitra aku tidak ingin berbantahan dan bersengketa denganmu di hadapan para cantrik dan murid-muridku karena engkau adalah sahabatku. Cukup dengan merelakan Bumi Sokalima, hutangmu aku anggap lunas, dan diantara kita tidak ada masalah lagi.

“Durna! apakah kau kira aku tidak tahu kedengkian yang berada di balik jalan pikiranmu. Karena sesungguhnya engkau akan lebih berkuasa dengan mengembalikan Negara Pancalaradya kepadaku. Demikian pula ketika kami kau biarkan hidup, orang akan menilaimu sebagai seorang Guru yang penuh belas kasih. Dan itu semuanya akan semakin dikuatkan dengan keberadaanmu di Bumi Sokalima sebagai maha guru yang mempunyai pengaruh tak terbatas. Oo Durna, Durna…”

Durna tidak lagi mempedulikan omongan Durpada, Guru besar Sokalima tersebut melangkah meninggalkan Pendapa sembari memberi isyarat kepada Bimasena untuk mengantar kembali Durpada dan Gandamana ke Negara Pancalaradya.

Napas Sucitra mulai tidak teratur, ada gejolak emosi yang sengaja diredam. Pertemuannya dengan Kumbayana selain membawa pikiran dan perasaannya mengembara ke masa lalu sebagai sahabat, tetapi juga menyadarkan bahwa mereka sekarang bukan lagi sahabat. Mereka adalah dua orang musuh yang seorang menagih hutang, sedangkan yang lain membayar hutang. Sucitra ingin membayarnya lunas hutangnya, Sedangkan Kumbayana belum mau menerima pelunasan. Ia ingin mempermainkan Sucitra sepuas-puasnya dihadapan murid-muridnya.

“Baik Durna!“ Jika sekarang engkau tidak membunuhku dan Gandamana, jangan menyesal jika suatu hari nanti akulah yang akan membunuhmu!”

Pada saat kemarahannya merambat sampai ke ubun-ubun, Puntadewa, Bimasena dan Harjuna menghampirinya dengan penuh hormat. Keuali Bimasena, mereka menyembah Prabu Durpada dan Gandamana sembari bersimpuh di hadapannya. Gejolak amarah yang memuncak berangsur turun. Mereka sungkan untuk mengumbar amarahnya di hadapan anak-anak Pandudewanata.

Sepeninggal Pandita Durna ke ruang dalam, suasana menjadi lengang, para murid dan penduduk Sokalima berangsur-angsur meninggalkan halaman pendapa induk padepokan. Prabu Durpada dan Raden Gandamana tidak menolak ketika dibimbing Puntadewa dan Harjuna serta Bimasena untuk meninggalkan pendapa padepokan menuju gledhekan (jalan besar di depan pendapa induk). Dua ekor kuda tunggangan telah disiapkan bagi kedua orang pepundhen tersebut. Dengan senyum keramahan beberapa orang cantrik mempersilakan Prabu Durpada dan Gandamana naik ke punggung kuda. Sebelum masing-masing memacu kudanya, mereka menoleh ke arah anak-anak Pandudewanata dengan tatapan mata yang sulit diterjemahkan. Mungkin Durpada dan Gandamana bangga mempunyai cucu-cucu seperti para Pandawa. Mungkin juga orang nomor satu dan nomor dua dari Pancalaradya tersebut menganggap para Pandawalah yang menjadi penyebab Durna dapat mempermainkan mereka seenaknya di depan umum. Tetapi mungkin juga Raja dan Patih Pancalaradya tersebut mengucapkan terimakasih, karena atas jasa cucu-cucu Pandawa mereka telah terbebas dari belenggu rantai karma.. Tetapi yang pasti, di dalam hati Prabu Durpada telah tumbuh dendam baru dan tentunya dendam itu akan dihidupi di dalam hidupnya.

Suara keteprak kaki kuda yang membawa Durpada dan Gandamana meninggalkan luka di tanah. Luka itu semakin panjang, sepanjang perjalanan hidup Prabu Durpada dan Gandamana.



sumber: google.com

0 comments:

Post a Comment