Searching...

Popular Posts

Tuesday, November 13, 2012

Kidung Malam (19) - Menyerah Tanpa Perang

9:53 PM

Bentrokan antara dua kelompok bersenjata akhirnya terjadi. Dursasana dan Duryudana sangat bernafsu untuk segera menghabisi para prajurit jaga yang menghadang di depan pintu gapura. Namun niatnya tidak segera kesampaian. Walaupun secara perorangan kemampuan para prajurit berada jauh dibawah murid-murid Sokalima, mereka adalah prajurit terlatih yang berani mati. Dapat bekerja sama dengan kompak dan disiplin, mampu saling menutupi celah-celah kelemahannya. Sehingga mereka bagaikan tembok tebal yang tidak mudah untuk ditembus.



Ketika belum ada satupun senjata yang menggores, tiba-tiba berkelebatlah bayangan yang mengacaukan para murid Sokalima. Bentrokan berhenti seketika. Semua mata memandang sesorang yang berdiri tegak diantara para prajurit jaga.



“Gandamana!”



Ucap para Kurawa hampir bersamaan.



“Benar aku Gandamana Beteng Negara Pancalaradya. Barang siapa ingin menerobos masuk ke dalam cepuri keraton dengan niatan buruk, terlebih dahulu harus mampu merobohkan aku.”



Rupanya Gandamana mau bertindak cepat untuk mengusir para Kurawa agar tidak membuat kerusakan dan ketidak tentraman di depan pintu gapura kraton, yang merupakan pintu utama bagi keluar masuknya para tamu, sahabat, kerabat raja dan kawula Pancalaradya. Maka segera di bangunlah sebuah mantra ajian Bandung Bandawasa. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari kedua telapak tangan Gandamana. Ke mana tangan digerakan, angin prahara menyapu dengan tenaga berlipat ganda, sebanding dengan tenaga seribu gajah.



Para Kurawa kesulitan untuk mendekat, apalagi untuk balas menyerang. Duryudana dan Dursasana orang yang dianggap mempunyai kelebihan dibanding dengan para Kurawa yang lain, tidak mampu membendung amukan Gandamana. Bahkan sebelum keringat mereka jatuh ke tanah, Duryudana dan Dursasana telah meninggalkan halaman pintu gerbang diikuti oleh para Kurawa dengan menyisakan debu dan umpatan kotor.



Gandamanan menghela napas lega, Pancalaradya terhindar dari bahaya. Ia tidak gentar jika para Kurawa akan datang kembali dengan membawa kekuatan yang jauh lebih besar.



Belum beranjak dari tempat ia berdiri, Pandawa Lima datang menghampiri Gandamana untuk menyembah. Menerima sembahnya Puntadewa, Bimasena, Arjuna, Nakula dan Sadewa, Gandamana melepaskan keperkasaan yang ditunjukkan sewaktu mengetrapkan aji Bandung Bandawasa.



“Ngger, cucu-cucuku Pandawa, berdirilah dan katakan apa yang kau inginkan atas diriku.”



“Eyang Gandamana sungguh berat dan tidak mungkin kami haturkan maksud kedatangan kami, tentunya Eyang Gandamana dapat membaca apa yang berkecamuk di dalam hati kami.”



Sebagai orang yang berpengalaman, Gandamana dapat membaca bahwa kedatangan para Pandawa yang adalah murid-murid Soka Lima, tentunya mempunyai tujuan yang sama dengan Kurawa. Artinya bahwa Gandamana harus menghadapi Pandawa seperti ketika ia menghadapi Kurawa.



Apakah kejadian ini merupakan gambaran nyata dari mimpiku? Ketika aku bermimpi, Prabu Pandu datang untuk menjajagi kesetiaanku dan mengajakku ke medan perang sendirian. Tetapi Gandamana tidak sampai hati berperang melawan Pandawa, apalagi sampai melukainya? Mengingat mereka adalah anak-anak Prabu Pandu Dewanata, raja yang dijunjung tinggi, dihormati, dicintai dan dirindukan. Sehingga kedatangan para Pandawa tidak dipandang sebagai musuh seperti Kurawa, namun justru menjadi pelepas rindunya kepada Prabu Pandu yang telah tiada. Dengan mata berkaca-kaca, dipandangnya Puntadewa, Bimasena, Harjuna, Nakula dan Sadewa bergantian.



“Siapa yang mewakili kalian untuk melaksanakan perintah gurumu Resi Durna?”



“Aku Eyang!” Bimasena menyahut mantap.



“Bagus! Majulah, ikat kedua tanganku dan bawalah kepada Resi Durna.”



“Tunggu Raden Gandamana! Sebagai kepala prajurit jaga, kami tidak mebiarkan Bimasena menawan Raden tanpa perlawanan. Jika Raden tidak mau berperang kepada Pandawa, biarlah kami yang akan berperang sampai kami tidak mampu lagi berperang demi menjaga Negara Pancalaradya, Prabu Durpada dan juga Raden Gandamana.”



Gandamana tertawa. Ia membenarkan apa yang dikatakan Kepala Prajurit Jaga. Jika ia menyerah tanpa syarat, bukankah artinya ia telah mengingkari sumpahnya sebagai panglima perang tertinggi dibawah raja, dan membiarkan Prabu Durpada dengan mudah dijadikan tawanan.



“Terimakasih Kepala Prajurit, engkau telah mengingatkan aku yang lemah ini. Bimasena ayo majulah ikatlah kedua tanganku ini.”



Sembari mengulurkan kedua tangannya, diam-diam Gandamana mengetrapkan mantra aji Wungkal Bener. Ajian tersebut merupakan salah satu kesaktian Gandamana yang istimewa. Karena aji Wungkal Bener seakan-akan mempunyai mata hati, ia akan memilih untuk menghancurkan lawan yang bersalah, sedangkan lawan yang benar akan luput dari aji Wungkal Bener. Karena alasan tersebut Gandamana sengaja mengetrapkan aji Wungkal Bener karena percaya bahwa Pandawa berada dalam kebenaran, sehingga tidak terluka karenanya.



Bima waspada, melihat ke dua tangan Gandamana yang dijulurkan untuk diikat mengeluarkan asap putih. Eyang Gandamana telah mengetrapkan ajian sakti. Maka Bimasena pun tidak mau membuang waktu, ia segera mempersiapkan diri menghadapi Gandamana Namun sebelum bentrokan terjadi, Prabu Durpada yang tiba-tiba berada di tempat itu telah mencegahnya.



Seperti Gandamana, Prabu Durpada merasakan hal yang sama saat bertemu dengan Pandawa Lima. Gambaran sosok Pandu yang luhur budi muncul dari ingatannya. Ia telah membantunya memenangkan sayembara. di Pancalaradya dengan mengalahkan Gandamana sehingga mendapatkan Gandawati, anak Prabu Gandabayu Raja Pancalaradya. Setelah Gandabayu surud, Sucitra menggantikan mertuanya menjadi raja dengan gelar Prabu Durpada. Sedangkan Gandamana diangkat Pandudewanata menjadi patihnya di Hastinapura. Maka sebagai upaya balas budi kepada Pandu Dewanata yang sudah meninggal, mikul dhuwur memdhem jero, Prabu Durpada dan Gandamana sepakat menyerahkan diri kepada Bimasena tanpa perlawanan, untuk di bawa menghadap Resi Durna sebagai tawanan.


sumber: google.com

0 comments:

Post a Comment