Searching...

Popular Posts

Tuesday, November 13, 2012

Kidung Malam (18) - Pendadaran Murid Sokalima

9:50 PM

Belum lama gema kenthongan yang dipukul sebelas kali hilang dari pendengaran, para murid Soka Lima, yang terdiri dari Pandawa dan Kurawa memenuhi Pendapa induk padepokan. Suasana pada malam itu menjadi khusus, karena ada hal yang terlalu penting yang akan disampaikan oleh Pandita Durna kepada semua muri-muridnya, tepat pada jam sebelas malam. Temaramnya lampu minyak yang menggantung di tengah saka guru, mampu menampakan raut wajah mereka yang serius. Tidak lama kemudian Pandita Durna muncul didampingi oleh Aswatama, anak semata wayang.

Setelah duduk di antara murid-muridnya, Pandita Durna membuka pembicaraan.

“Sudah lebih dari tiga tahun kalian berlatih dengan sungguh-sungguh, Aku bangga atas kemajuan yang kalian capai. Aku menghargai kalian, seperti engkau menghormati aku. Aku mencintai kalian, seperti engkau juga mencintai aku. Selama ini aku telah membantu kesulitan kalian, demikian pula yang aku harapkan kalian juga membantu kesulitanku.”

“Bapa guru, bukankah bantuan kami selama ini terus mengalir. Tidak sedikit harta yang kami berikan untuk membangun pendapa yang megah ini, membangun asrama para murid, membangun pintu gapura dan tembok keliling padepokan, juga membantu fasilitas-fasilitas yang lain. Namun jika semua bantuan tersebut belum dapat mengatasi kesulitan, katakan saja Bapa Guru, kesulitan apa lagi yang perlu kami bantu.”

“Anak Mas Duryudana, apa yang engkau katakan perihal bantuan itu memang benar, namun bukan itu yang aku maksudkan. Aku membutuhkan bantuan untuk menyembuhkan luka batin yang selama ini masih menganga di dalam hatiku. Oleh karenanya hidupku tidak akan pernah tenang sebelum luka itu sembuh.”

“Bapa Guru yang aku hormati, hati yang menganga karena luka dan tidak segera pulih kembali itu hanya terjadi pada hati yang darahnya dialiri dendam. Apakah Bapa Guru Durna menyimpan dendam?”

“ Benar Harjuna, engkau memang murid yang ‘lantip,’ aku menyimpan dendam. Dan demi anakku Aswatama dendam tersebut aku hidupi, sembari menunggu waktu yang tepat untuk melampiaskan.”

“Lalu, kepada siapa dendam itu akan dilampiaskan.?”

“Kepada Sucitra dan Gandamana”

Para murid terdiam, mereka tahu bahwa dua nama yang disebut Pandita Durna adalah raja dan beteng kekuatan Cempalaradya atau Pancalaradya. Bagi para Kurawa Gandamana dan Sucitra atau Prabu Durpada adalah dua orang pilih tanding, yang tidak mudah dikalahkan. Hati mereka tergetar membayangkan sepak terjang Gandamana di medan perang. Dengan aji Wungkal Bener dan Bandung Bandawasa, Gandamana mampu memporakporandakan ratusan prajurit dalam sekejap Lain halnya dengan perasaan yang berkecamuk di hati Para Pandawa. Bagi mereka Prabu Durpada dan Gandamana adalah dua orang Pepunden yang pantas di hormati. Maka jika karena janji baktinya kepada Bapa Guru Durna harus menghadapi Gandamana dan Prabu Durpada, ada perang batin yang tidak mudah untuk diselesaikannya

“Demi dendam itulah aku mengumpulkan kalian semua, untuk meminta tanda baktimu, seperti yang pernah engkau nyatakan pada saat kalian akan menjadi muridku, sekaligus sebagai pendadaran atas ilmu yang telah aku ajarkan. Jika hal ini dianggap sebagai perintah, maka tidak ada pilihan bagi kalian selain melaksanakan perintahku. Maka perintahku adalah: Besok lusa pada hari Respati Manis, sebelum matahari tenggelam, aku menginginkan Durpada dan Gandamana sampai di depanku dalam keadaan terikat.”

Perintah Pandita Durna dapat diartikan bahwa para murid yang berhasil merangket Durpada dan Gandamana, adalah para murid yang lolos pendadaran. Keberhasilannya akan menempatkan mereka pada jenjang selanjutnya dan mendapatkan ilmu-ilmu yang lebih tinggi tatarannya. Tentunnya bagi mereka yang berhasil, mendapat perhatian khusus di hati Pandita Durna, lebih dari pada para murid yang tidak berhasil. Oleh karenanya walaupun para Kurawa tergetar hatinya mendengar nama Gandamana, mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapat pujian sang guru, maka Para Kurawa mendahului para Pandawa berangkat ke Cempalaradya.

Sebentar kemudian pendapa induk Padepokan Soka Lima menjadi sepi, Durna tersenyum tipis memandangi murid-muridnya yang bergegas meninggalkan pendapa, untuk mengemban tugas berat merangket Durpada dan Gandamana.

“Aswatama jangan pergi jauh-jauh dariku, karena sebentar lagi engkau akan menyaksikan peristiwa yang telah lama kita tunggu, pembalasanku kepada Sucitra dan Gandamana“

Keberanian para Kurawa yang kemudian muncul tidak terlepas dari ambisinya untuk selalu ingin berada di atas mengungguli para Pandawa. Peran Sengkuni sangat menentukan dalam mengobarkan kesombongan Duryudana dan Dursasana. Maka tidaklah heran, ketika para Kurawa dengan senjata lengkap sampai di pintu gerbang kotaraja Cempalaradya, Dursasana berteriak-teriak menantang Durpada.

“Hei! Raja penakut, Durpada! Jangan bersembunyi di balik tembok tebal, jangan berlindung di balik dada para prajurit, Jangan keenakan tidur bersama selir-selirmu keluarlah hadapi Dursasana dan Para Kurawa. Jika sampai tengah hari tidak mau keluar keraton akan saya bumihanguskan.”

Mendengar tantangan Dursasana, kepala prajurit jaga tidak dengan serta merta terpancing. Ia cukup waspada dan berhati-hati menghadapi para kurawa, sebatas tidak merusak dan menerobos masuk keraton.

Karena tidak ada tanggapan, Dursasana, Duryudana dan saudara-saudaranya ingin menerobos prajurit jaga yang menyilangkan tombaknya di depan pintu gapura. Melihat gelagat yang membahayakan, kepala prajurit jaga menyerukan perintah.

“Tahan mereka! Jangan sampai masuk sitihinggil!”

Dursasana memandang remeh prajurit rucah yang menghadang di pintu gerbang. Sambil berteriak-teriak mata pedangnya menyambar-nyambar, bak elang mencari mangsa. Sementara itu Duryudana dengan gadanya berusaha menghancurkan setiap musuh yang menghadang di depannya.



sumber: google.com

0 comments:

Post a Comment