Di negara Jodipati Arya Werkudara memberitahukan kepada anak isterinya bahwa ia mendapat perintah dari Dewa di Suralaya harus menanam padi ketan gondhil.Bila ia berhasil menanam jenis padi tersebut di
kemudian hari keturunannya dapat menjadi raja Jawa.
Werkudara memerintahkan kepada Dewi Arimbi dan anak-anaknya agar mencari bibit padi tersebut dan
agar anak-anaknya mempersiapkan lahannya, Werkudara yang akan mengerjakannya. Gatutkaca minta diri
untuk berangkat, sedangkan Dewi Arimbi diminta mencari orang yang akan menanam bibit pad tersebut.
Gatutkaca dan adik-adiknya menuju hutan Sumeja yang masih berada di lingkungan kerajaan Jodipati.
Ketika lahan sudah siap, Werkudara minta disiapkan bajak dan lembunya, yang menuntun lembu adalah
Antasena, sedangkan Antareja dan Gatutkaca mencangkul pinggiran sawah. Arya Werkudara sambil
membajak mencangkul juga. Dalam satu hari siaplah lahan tersebut. Dewi Arimbi menyuruh orang-orang
yang diminta bantuannya untuk mulai menanam padi. Demikianlah mereka menunggu tanamannya yang
mulai hidup.
Tersebutlah negeri Nganjuk yang diperintah oleh Prabu Kalawintaka, ia sedang dihadap oleh anak-anaknya, lying-iying, berupa ham padi. Mereka merintih dan mengaduh karena ingin sekali makan,dan yang diminta adalah tanaman padi ketan gondhil.Prabu Kalawintaka menyerankan agar mereka pergi ke negara Jodipati , sedangkan ia sendiri akan menghadap Batara Guru mohon kerelaan Batara Guru agar anak-ankanya tidak diganggu.
Anak-anak Prabu Kalawintaka minta diri akan berangkat. Sebelum mereka berangkat Prabu Kalawintaka
memberi tahu berupa larangan, yaitu bila bertemu papan yang terdapat gambar Prabu Kalawintaka yang
dibawa dengan membaca mantra, mereka jangan sekali-kali menerjang karena mereka akan hancur. Prabu
Kalawintaka juga menggambarkan bagaimana cara mempergunakan papanitu, yaitu dibawa mengelilingi
sawah sambil dibacakan mantra. Bila mereka melihat papan itu agar hati-hati, dan bila mendengar orang
membaca mantra harus segera berlari pulang. Mereka diminta mengingat-ngngat petunjuk-petunjuk
tersebut.
Sepeninggal anak-anaknya Prabu Kalawintaka terbang ke kahyangan menghadap Batara Guru , ia tidak
terlihat oleh manusia , karena berupa makhluk halus dan amat sakti.
Di kahyangan Jonggring Salaka Batara Guru bertanya Batara Narada mengapa terjadi kegoncangan yang
terasa sampai di kahyangan. Batara Narada menerangkan bahwa hal itu akibat badan Bima, yang telah
menerima perintah dari Dewaruci agar menjadi petani, tetapi sekarang tanamannya diganggu oleh hama.
Batara Guru lalau memerintahkan Batara Lodra untuk membunuh Kalawintaka agar tidak menjadi
penghalang bagi Bima. Batara Lodra menyanggupi dan ia diberi bekal besi Pulosanipidonya sebagai senjata
untuk menghadapi Prabu Kalawintaka. Kemudian Batara Lodra minta diri.
Ketika Prabu Kalawintaka sampai di kahyangan Kuwandawaru ia temui oleh Batara Lodra yang tidak
mengijinkannya untuk menghadap Batara Guru dan disuruhnya kembali ke dunia. Ia marah sekali, demikian
pula Batara Lodra karena Prabu Kalawintaka menolak untuk kembali. Keduanya lalu berkelahi. Karena lama
tidak ada yang kalah atau menang, Batara Lodra mengambil gada Pulasani dan dipukulkannya ke Prabu
Kalawintaka .Seketika itu juga Prabu Kalawintaka rebah, namun tiba-tiba ia berubah menjadi papan dan
kelihatan ia berada di dalamnya. Batara Guru dan Batara Narada yang kemudian datang dan melihat hal
tersebut mengatakan bahwa papan itu dinamakannya Tlawingan Busur dan dapat dipakai untuk menolak
hama.Ia dijadikan tempat pusaka Bima yang berupa keris bernama Kyai Banteng yang terjadi dari
keturunan Kalagumarang yang bernama Kalabuja,kakakPrabu Kalawintaka. Bila kedua senjata itu disatukan
menyebabkan yang mempunyainya tenteram sehingga dalam mencari penghidupannya. Selanjutnya Batara
Lodra diperintahkan memberikan pusaka itu kepada Bima dan diberitahukan pula cara memakainya, yaitu
dibawa mengelilingi sawah sambil dibacakan mantra.
Sementara itu para hama yang menunggu di pinggir sawah mulai ada yang makan tanaman. Begitu melihat
ada yang mulai makan, lainnya segera menyerbu tanaman padi sehingga menyebabkan kerusakan yang
cukup parah.
Ketika Gatutkaca menengok tanamannya, ia terkejut melihat banyak tanaman yang layu. Segera ia
memberitahu ayahnya. Bratasena yang sedang dihadap Raden Antareja dan Raden Antasena terkejut
mendengar laporan itu, dan bersama anak-anaknya berangkat ke sawah. Ia merasa putus asa
menyaksikannya,padahal ia bertanam itu atas perintah Dewaruci. Karena marahnya ia bermaksud
menghancurkannya saja, tidak ada gunanya dipelihara terus. Dewi Arimbi menghalangi niat itu dengan
membujuknya, barangkali ada pertolongan dari Hyang Agung. Tak lama kemudian datanglah Batara Lodra
yang membuatnya terkejut; Batara Lodra segera menerangkan bahwa ia duuutus Batara Guru untuk
memberikan pusaka yang bernama Tlawingan Busur yang dapat dipergunakan untuk menolak hama lyingiying.
Batara Lodra juga membritahu caranya memakainya. Dengan adanya pusaka itu Raden Werkudara
merasa terhibur. Ia memerintahkan isteri dan anak-anaknya menyiapkan srana (perlengkapan sesaji) dan
menjelang malam Selasa Kliwon mulai menumpas hama. Ia membawa Gada Rujak Polo,
isterinya membawa sesajian, Antasena membawa gada Kulitasari, Antareja membawa dupa, dan Gatutkaca membawa keris Kyai Banteng. Ketika akan berangkat Werkudara membaca mantra. Menjelang pagi selesai upacara pembasmian hama tersebut. Para hama yang terkena penolak hama itu menjadi sakit dan segera melarikan diri. Tanaman yang ditinggalkan kembali menghijau. Tak lama kemudian ia mendapat
pemberitahuan (wangsit) dari Dewaruci bahwa dalam perang Barata nanti ia akan mendapat kemenangan
karena telah berhasil menanam padi ketan gondhil.
kemudian hari keturunannya dapat menjadi raja Jawa.
Werkudara memerintahkan kepada Dewi Arimbi dan anak-anaknya agar mencari bibit padi tersebut dan
agar anak-anaknya mempersiapkan lahannya, Werkudara yang akan mengerjakannya. Gatutkaca minta diri
untuk berangkat, sedangkan Dewi Arimbi diminta mencari orang yang akan menanam bibit pad tersebut.
Gatutkaca dan adik-adiknya menuju hutan Sumeja yang masih berada di lingkungan kerajaan Jodipati.
Ketika lahan sudah siap, Werkudara minta disiapkan bajak dan lembunya, yang menuntun lembu adalah
Antasena, sedangkan Antareja dan Gatutkaca mencangkul pinggiran sawah. Arya Werkudara sambil
membajak mencangkul juga. Dalam satu hari siaplah lahan tersebut. Dewi Arimbi menyuruh orang-orang
yang diminta bantuannya untuk mulai menanam padi. Demikianlah mereka menunggu tanamannya yang
mulai hidup.
Tersebutlah negeri Nganjuk yang diperintah oleh Prabu Kalawintaka, ia sedang dihadap oleh anak-anaknya, lying-iying, berupa ham padi. Mereka merintih dan mengaduh karena ingin sekali makan,dan yang diminta adalah tanaman padi ketan gondhil.Prabu Kalawintaka menyerankan agar mereka pergi ke negara Jodipati , sedangkan ia sendiri akan menghadap Batara Guru mohon kerelaan Batara Guru agar anak-ankanya tidak diganggu.
Anak-anak Prabu Kalawintaka minta diri akan berangkat. Sebelum mereka berangkat Prabu Kalawintaka
memberi tahu berupa larangan, yaitu bila bertemu papan yang terdapat gambar Prabu Kalawintaka yang
dibawa dengan membaca mantra, mereka jangan sekali-kali menerjang karena mereka akan hancur. Prabu
Kalawintaka juga menggambarkan bagaimana cara mempergunakan papanitu, yaitu dibawa mengelilingi
sawah sambil dibacakan mantra. Bila mereka melihat papan itu agar hati-hati, dan bila mendengar orang
membaca mantra harus segera berlari pulang. Mereka diminta mengingat-ngngat petunjuk-petunjuk
tersebut.
Sepeninggal anak-anaknya Prabu Kalawintaka terbang ke kahyangan menghadap Batara Guru , ia tidak
terlihat oleh manusia , karena berupa makhluk halus dan amat sakti.
Di kahyangan Jonggring Salaka Batara Guru bertanya Batara Narada mengapa terjadi kegoncangan yang
terasa sampai di kahyangan. Batara Narada menerangkan bahwa hal itu akibat badan Bima, yang telah
menerima perintah dari Dewaruci agar menjadi petani, tetapi sekarang tanamannya diganggu oleh hama.
Batara Guru lalau memerintahkan Batara Lodra untuk membunuh Kalawintaka agar tidak menjadi
penghalang bagi Bima. Batara Lodra menyanggupi dan ia diberi bekal besi Pulosanipidonya sebagai senjata
untuk menghadapi Prabu Kalawintaka. Kemudian Batara Lodra minta diri.
Ketika Prabu Kalawintaka sampai di kahyangan Kuwandawaru ia temui oleh Batara Lodra yang tidak
mengijinkannya untuk menghadap Batara Guru dan disuruhnya kembali ke dunia. Ia marah sekali, demikian
pula Batara Lodra karena Prabu Kalawintaka menolak untuk kembali. Keduanya lalu berkelahi. Karena lama
tidak ada yang kalah atau menang, Batara Lodra mengambil gada Pulasani dan dipukulkannya ke Prabu
Kalawintaka .Seketika itu juga Prabu Kalawintaka rebah, namun tiba-tiba ia berubah menjadi papan dan
kelihatan ia berada di dalamnya. Batara Guru dan Batara Narada yang kemudian datang dan melihat hal
tersebut mengatakan bahwa papan itu dinamakannya Tlawingan Busur dan dapat dipakai untuk menolak
hama.Ia dijadikan tempat pusaka Bima yang berupa keris bernama Kyai Banteng yang terjadi dari
keturunan Kalagumarang yang bernama Kalabuja,kakakPrabu Kalawintaka. Bila kedua senjata itu disatukan
menyebabkan yang mempunyainya tenteram sehingga dalam mencari penghidupannya. Selanjutnya Batara
Lodra diperintahkan memberikan pusaka itu kepada Bima dan diberitahukan pula cara memakainya, yaitu
dibawa mengelilingi sawah sambil dibacakan mantra.
Sementara itu para hama yang menunggu di pinggir sawah mulai ada yang makan tanaman. Begitu melihat
ada yang mulai makan, lainnya segera menyerbu tanaman padi sehingga menyebabkan kerusakan yang
cukup parah.
Ketika Gatutkaca menengok tanamannya, ia terkejut melihat banyak tanaman yang layu. Segera ia
memberitahu ayahnya. Bratasena yang sedang dihadap Raden Antareja dan Raden Antasena terkejut
mendengar laporan itu, dan bersama anak-anaknya berangkat ke sawah. Ia merasa putus asa
menyaksikannya,padahal ia bertanam itu atas perintah Dewaruci. Karena marahnya ia bermaksud
menghancurkannya saja, tidak ada gunanya dipelihara terus. Dewi Arimbi menghalangi niat itu dengan
membujuknya, barangkali ada pertolongan dari Hyang Agung. Tak lama kemudian datanglah Batara Lodra
yang membuatnya terkejut; Batara Lodra segera menerangkan bahwa ia duuutus Batara Guru untuk
memberikan pusaka yang bernama Tlawingan Busur yang dapat dipergunakan untuk menolak hama lyingiying.
Batara Lodra juga membritahu caranya memakainya. Dengan adanya pusaka itu Raden Werkudara
merasa terhibur. Ia memerintahkan isteri dan anak-anaknya menyiapkan srana (perlengkapan sesaji) dan
menjelang malam Selasa Kliwon mulai menumpas hama. Ia membawa Gada Rujak Polo,
isterinya membawa sesajian, Antasena membawa gada Kulitasari, Antareja membawa dupa, dan Gatutkaca membawa keris Kyai Banteng. Ketika akan berangkat Werkudara membaca mantra. Menjelang pagi selesai upacara pembasmian hama tersebut. Para hama yang terkena penolak hama itu menjadi sakit dan segera melarikan diri. Tanaman yang ditinggalkan kembali menghijau. Tak lama kemudian ia mendapat
pemberitahuan (wangsit) dari Dewaruci bahwa dalam perang Barata nanti ia akan mendapat kemenangan
karena telah berhasil menanam padi ketan gondhil.
*apa yang kita tanam, itulah yang akan kita panen kelak...
0 comments:
Post a Comment