Bagai tersaput kabut suasana dalam sasana Bulupitu. Gelap pekat dalam pandangan Prabu Duryudana. Kesedihan yang teramat dalam dibarengi dengan kekhawatiran akan langkahnya kedepan setelah gugurnya Resi Bisma, membuat Duryudana duduk tanpa berkata sepatahpun. Sebentar sebentar mengelus dada, sebentar sebentar memukul pahanya sendiri. Sebentar kemudian mengusap usap keningnya yang berkerut. Hawa sore yang sejuk menjelang malam, tak menghalangi keluarnya keringat dingin yang deras mengucur dan sesekali disekanya, namun tetap tak hendak kering. Dalam hatinya sangat masgul, malah lebih jauh lagi, ia memaki maki dewa didalam hati, kenapa mereka tidak berbuat adil terhadapnya.
Tak sabar orang sekelilingnya dalam diam, salah satunya adalah Prabu Salya. Dengan sabar ia menyapa menantunya.
“Ngger, apa jadinya bila pucuk pimpinan terlihat patah semangat, bila itu yang terjadi, maka prajuritmu akan terpengaruh menjadi rapuh sehingga gampang rubuh bila terserang musuh”.
Terdiam sejenak Prabu Salya mengamati air muka menantunya. Ketika dilihat tak ada perubahan, kembali ia melanjutkan,
“Jangan lagi memikirkan apa yang sudah terjadi. Memang benar, kehilangan senapati sakti semacam Resi Bisma, eyangmu itu, tak mudah untuk digantikan oleh siapapun. Namun tidakkah angger melihat, aku masih berdiri disini. Lihat, raja sekutu murid-murid Pandita Durna, yang disana ada Gardapati raja besar dari Kasapta. Disebelah sana lagi ada Prabu Wersaya dari Negara Windya, sedangkan disana berdiri Raja sentosa bebahunya, Prabu Bogadenta dari Negara Turilaya, Prabu Hastaketu dari Kamboja, Prabu Wrahatbala dari Kusala, disebelah sana ada lagi Kertipeya, Mahameya, Satrujaya, Swarcas *) dan tak terhitung raja raja serba mumpuni olah perang lainnya yang aku tidak dapat disebu satu persatu.
Para manusia sakti mandraguna masih berdiri disekelilingmu. Belum lagi gurumu Pandita Durna masih berdiri dengan segudang kesaktian dan perbawanya. Ada kakakmu Narpati Basukarna. Dan jangan remehkan juga pamanmu Sangkuni, manusia dengan ilmu kebalnya. Masih kurangkah mereka menjadi penunjang berdirinya kekuatan Astina?”
Sekali lagi Prabu Salya mengamati wajah menantunya yang sebentar air mukanya berubah cerah, mengikuti gerakan tangan mertuanya menunjuk para raja dan parampara yang ada di balairung.
Sejenak kemudian, pikiran dan hati Prabu Duryudana mencair, tergambar dari air mukanya yang menjadi cerah.
Tak lama kemudian, sabda Prabu Duryudana terdengar “ Rama Prabu Mandaraka, Bapa Pandita Durna, Kakang Narpati Basukarna dan para sidang semua, terliput mendung tebal seluruh jagatku, tatkala gugurnya Eyang Bisma, seakan akan patah semua harapan yang sudah melambung tinggi, tiba-tiba tebanting di batu karang, remuk redam musnah segalanya”.
Sejenak Prabu Duryudana terdiam. Setelah menarik nafas dalam dalam, ia melanjutkan “Namun setelah Rama Prabu Salya membuka mata saya, bahwa ternyata disekelilingku masih banyak agul agul sakti, terasa terang pikirku, terasa lapang dadaku!. Terimakasih Rama Prabu, paduka telah kembali membangkitkan semangat anakmu ini”.
“Ngger anak Prabu, sekarang anak Prabu tinggal memilih, siapakah gerangan yang hendak diwisuda untuk menjadi senapati selanjutnya. Silakan tinggal menunjuk saja. Ssemua sudah menanti titah paduka, angger Prabu”. Pandita Druna memancing dan mencadang tandang dan mengharap menjadi senapati pengganti.
“Baiklah, besok hari, mohon perkenannya Paman Pandita Durna untuk menyumbangkan segala kemampuan gelar perang, mengatur strategi bagaimana agar secepatnya para Pandawa tumpas tanpa sisa”
Gembira Pandita Durna terlihat dari wajahnya yang berseri seri. “Inilah yang aku harap siang dan malam, agar menjadi pengatur strategi yang nyatanya sudah aku mengamati dari hari kehari, apa yang seharusnya aku lakukan untuk kejayaan keluarga Kurawa”.
“Sukurlah kalau demikan, ternyata tak salah aku memilih Paman Pandita yang sudah mengamati bagaimana cara menumpas musuh. Perkenankan Paman Pandita membuka gelar strategi itu”. Kali ini senyum Prabu Duryudana makin lebar.
“Begini ngger, seperti yang sudah pernah diutarakan oleh Resi Bisma, kekuatan Pendawa itu sebenarnya ada pada Werkudara dan Arjuna. Nah, sekarang mereka menggelar perang dengan formasi Garuda Nglayang, dengan sayap kiri ditempati oleh Werkudara, sedangkan di sayap kanan ada di pundak Arjuna”.
“Bila kedua sayap itu dibiarkan utuh, maka kita akan keteteran menghadapi serangan kedua orang itu. Cara satu satunya adalah bagaimana kita melepas tulang sayap itu sehingga kekuatannya akan menjadi hilang. Satu hari saja mereka dipisahkan dari barisan, segalanya akan berjalan mulus untuk kemenangan kita”. Sejenak Pandita Durna menghentikan beberan strategi. Matanya mengawasi para yang hadir didalam balairung. Setelah yakin bahwa semua penjelasan awal dimengerti, terlihat dari anggukan hadirin, Durna meneruskan.
“Sekarang bagaimana caranya?” kembali ia berhenti. Matanya kembali menyapu satu demi satu hadirin dengan percaya diri sangat tinggi. Lanjutnya “Nak angger, untuk memuluskan langkah kita melolosi kekuatan Pandawa satu demi satu, besok hari akan digelar barisan dengan tata gelar Cakrabyuha. Gelar ini diawaki ruji-ruji terdiri dari Prabu Salya, Nak Mas Adipati Karna, Adipati Jayadrata, Yayi Resi Krepa , Kartamarma, Prabu Bogadenta, Dursasana , Aswatama, Prabu Haswaketu, Kertipeya serta Wrahatbala. Semuanya membentuk lingkaran, sedangkan dalam poros adalah anak Prabu Duryudana”.
Merasa tidak disebut, Prabu Gardapati dan Prabu Wresaya berbareng mengajukan pertanyaan, “Adakah kekurangan kami sehingga kami tedak dipercaya terlibat dalam susunan gelar?”
Terkekeh tawa Pandita Durna mengamati mimik muka ketidak puasan yang terpancar dari kedua Raja Seberang ini.”Jangan khawatir, justru kamu berdua akan aku beri peran yang cukup besar untuk gelar strategi perang esok hari !” sambungnya sambil memainkan tasbih yang selalu melekat ditangannya.
Wajah wajah yang tadinya menampakkan rasa kecewa, wajah Prabu Gardapati dan Prabu Wersaya kembali sumringah “Apakah peran kami berdua ? Sebesar apa sumbangan yang bisa kami berikan agar jasa kami selalu dikenang dibenak saudara-saudara kami Kurawa?” Tak sabar Gardapati mengajukan pertanyaan.
“Naaa . . . Begini Gardapati, Wersaya, besok secara pelan dan pasti, pancing kedua sayap kanan dan kiri Werkudara dan Janaka untuk mejauh dari barisan utama dan ajaklah mereka bertempur hingga ke pinggir hutan pinggir pantai. Anak Prabu Gardapati dan Wersaya, segera tancapkan senjata saktimu ketanah berpasir, bukankah senjata pusakamu dapat membuat pasir menjadi hidup dan berlumpur, mereka terperosok masuk dalam perangkap pasir itu. Semakin kuat mereka bergerak, pasir hidup itu akan menarik mereka kedalam. Pasti keduanya akan segera tewas”.
******
Sementara itu di Pesanggrahan Randuwatangan, Prabu Matswapati, Prabu Puntadewa dan Prabu Kresna serta segenap para prajurit utama juga mengadakan pertemuan membahas langkah yang dituju untuk mencapai posisi unggul di esok hari.
Namun sebelumnya, mereka mengadakan upacara pembakaran jasad Resi Bisma secara sederhana, namun dilimputi dengan suasana tintrim dan khidmad. Walau sejatinya Resi Bisma adalah senapati lawan, namun kecintaan para Pandawa terhadap leluhurnya taklah menjadi sekat terhadap rasa bakti mereka.
Prabu Punta yang duduk berdiam diri dengan rasa sedih atas kematian Resi Bisma, tak juga memulai sidang. Namun Prabu Kresna segera memecah kesunyian, menyapa Prabu Punta. Tetapi yang terlontar dari jawaban Prabu Puntadewa, adalah penyesalan diri. Mengapa perang terjadi sehingga menyebabkan tewasnya Resi Bisma.
Kembali Kresna menasihati adik-adiknya. Semua diuraikan lagi, mengapa perang ini harus berlangsung dan intisarinya perang Baratayuda sesungguhnya apa.
Cair kebekuan hati Prabu Punta, segera inti pembicaraan sidang ditanyakan kepada Prabu Puntadewa.“Yayi Prabu, sidang sudah menanti titah paduka untuk langkah yang akan kita arahkan besok hari. Adakah yang perlu yayi sampaikan dalam sidang ini ?”
“Terimakasih kakang Prabu yang selama ini sudah membimbing kami semua, pepatah mengatakan kakang Prabu dan kita semua, sudah terlanjur basah, alangkah lebih baik kita mencebur sekalian” Prabu Puntadewa sejenak terdiam. Dalam pikirannya masih diliputi dengan peristiwa yang sore tadi berlangsung. Selain itu dalam hal strategi, siapa yang tak kenal dengan Raja Dwarawati yang diketahui memiliki ide-ide cemerlang. Maka tidak ragu lagi Prabu Punta melanjutkan. ”Selanjutnya, segala pengaturan langkah, silakan kakang Batara untuk mengatur langkah kita dibawah perintah paduka “.
“Dhuh yayi, kehormatan yang diberikan kepadaku akan aku junjung tinggi, segala kepercayaan akan kami jalankan demi kejayaan kebenaran”.
Tak sabar orang sekelilingnya dalam diam, salah satunya adalah Prabu Salya. Dengan sabar ia menyapa menantunya.
“Ngger, apa jadinya bila pucuk pimpinan terlihat patah semangat, bila itu yang terjadi, maka prajuritmu akan terpengaruh menjadi rapuh sehingga gampang rubuh bila terserang musuh”.
Terdiam sejenak Prabu Salya mengamati air muka menantunya. Ketika dilihat tak ada perubahan, kembali ia melanjutkan,
“Jangan lagi memikirkan apa yang sudah terjadi. Memang benar, kehilangan senapati sakti semacam Resi Bisma, eyangmu itu, tak mudah untuk digantikan oleh siapapun. Namun tidakkah angger melihat, aku masih berdiri disini. Lihat, raja sekutu murid-murid Pandita Durna, yang disana ada Gardapati raja besar dari Kasapta. Disebelah sana lagi ada Prabu Wersaya dari Negara Windya, sedangkan disana berdiri Raja sentosa bebahunya, Prabu Bogadenta dari Negara Turilaya, Prabu Hastaketu dari Kamboja, Prabu Wrahatbala dari Kusala, disebelah sana ada lagi Kertipeya, Mahameya, Satrujaya, Swarcas *) dan tak terhitung raja raja serba mumpuni olah perang lainnya yang aku tidak dapat disebu satu persatu.
Para manusia sakti mandraguna masih berdiri disekelilingmu. Belum lagi gurumu Pandita Durna masih berdiri dengan segudang kesaktian dan perbawanya. Ada kakakmu Narpati Basukarna. Dan jangan remehkan juga pamanmu Sangkuni, manusia dengan ilmu kebalnya. Masih kurangkah mereka menjadi penunjang berdirinya kekuatan Astina?”
Sekali lagi Prabu Salya mengamati wajah menantunya yang sebentar air mukanya berubah cerah, mengikuti gerakan tangan mertuanya menunjuk para raja dan parampara yang ada di balairung.
Sejenak kemudian, pikiran dan hati Prabu Duryudana mencair, tergambar dari air mukanya yang menjadi cerah.
Tak lama kemudian, sabda Prabu Duryudana terdengar “ Rama Prabu Mandaraka, Bapa Pandita Durna, Kakang Narpati Basukarna dan para sidang semua, terliput mendung tebal seluruh jagatku, tatkala gugurnya Eyang Bisma, seakan akan patah semua harapan yang sudah melambung tinggi, tiba-tiba tebanting di batu karang, remuk redam musnah segalanya”.
Sejenak Prabu Duryudana terdiam. Setelah menarik nafas dalam dalam, ia melanjutkan “Namun setelah Rama Prabu Salya membuka mata saya, bahwa ternyata disekelilingku masih banyak agul agul sakti, terasa terang pikirku, terasa lapang dadaku!. Terimakasih Rama Prabu, paduka telah kembali membangkitkan semangat anakmu ini”.
“Ngger anak Prabu, sekarang anak Prabu tinggal memilih, siapakah gerangan yang hendak diwisuda untuk menjadi senapati selanjutnya. Silakan tinggal menunjuk saja. Ssemua sudah menanti titah paduka, angger Prabu”. Pandita Druna memancing dan mencadang tandang dan mengharap menjadi senapati pengganti.
“Baiklah, besok hari, mohon perkenannya Paman Pandita Durna untuk menyumbangkan segala kemampuan gelar perang, mengatur strategi bagaimana agar secepatnya para Pandawa tumpas tanpa sisa”
Gembira Pandita Durna terlihat dari wajahnya yang berseri seri. “Inilah yang aku harap siang dan malam, agar menjadi pengatur strategi yang nyatanya sudah aku mengamati dari hari kehari, apa yang seharusnya aku lakukan untuk kejayaan keluarga Kurawa”.
“Sukurlah kalau demikan, ternyata tak salah aku memilih Paman Pandita yang sudah mengamati bagaimana cara menumpas musuh. Perkenankan Paman Pandita membuka gelar strategi itu”. Kali ini senyum Prabu Duryudana makin lebar.
“Begini ngger, seperti yang sudah pernah diutarakan oleh Resi Bisma, kekuatan Pendawa itu sebenarnya ada pada Werkudara dan Arjuna. Nah, sekarang mereka menggelar perang dengan formasi Garuda Nglayang, dengan sayap kiri ditempati oleh Werkudara, sedangkan di sayap kanan ada di pundak Arjuna”.
“Bila kedua sayap itu dibiarkan utuh, maka kita akan keteteran menghadapi serangan kedua orang itu. Cara satu satunya adalah bagaimana kita melepas tulang sayap itu sehingga kekuatannya akan menjadi hilang. Satu hari saja mereka dipisahkan dari barisan, segalanya akan berjalan mulus untuk kemenangan kita”. Sejenak Pandita Durna menghentikan beberan strategi. Matanya mengawasi para yang hadir didalam balairung. Setelah yakin bahwa semua penjelasan awal dimengerti, terlihat dari anggukan hadirin, Durna meneruskan.
“Sekarang bagaimana caranya?” kembali ia berhenti. Matanya kembali menyapu satu demi satu hadirin dengan percaya diri sangat tinggi. Lanjutnya “Nak angger, untuk memuluskan langkah kita melolosi kekuatan Pandawa satu demi satu, besok hari akan digelar barisan dengan tata gelar Cakrabyuha. Gelar ini diawaki ruji-ruji terdiri dari Prabu Salya, Nak Mas Adipati Karna, Adipati Jayadrata, Yayi Resi Krepa , Kartamarma, Prabu Bogadenta, Dursasana , Aswatama, Prabu Haswaketu, Kertipeya serta Wrahatbala. Semuanya membentuk lingkaran, sedangkan dalam poros adalah anak Prabu Duryudana”.
Merasa tidak disebut, Prabu Gardapati dan Prabu Wresaya berbareng mengajukan pertanyaan, “Adakah kekurangan kami sehingga kami tedak dipercaya terlibat dalam susunan gelar?”
Terkekeh tawa Pandita Durna mengamati mimik muka ketidak puasan yang terpancar dari kedua Raja Seberang ini.”Jangan khawatir, justru kamu berdua akan aku beri peran yang cukup besar untuk gelar strategi perang esok hari !” sambungnya sambil memainkan tasbih yang selalu melekat ditangannya.
Wajah wajah yang tadinya menampakkan rasa kecewa, wajah Prabu Gardapati dan Prabu Wersaya kembali sumringah “Apakah peran kami berdua ? Sebesar apa sumbangan yang bisa kami berikan agar jasa kami selalu dikenang dibenak saudara-saudara kami Kurawa?” Tak sabar Gardapati mengajukan pertanyaan.
“Naaa . . . Begini Gardapati, Wersaya, besok secara pelan dan pasti, pancing kedua sayap kanan dan kiri Werkudara dan Janaka untuk mejauh dari barisan utama dan ajaklah mereka bertempur hingga ke pinggir hutan pinggir pantai. Anak Prabu Gardapati dan Wersaya, segera tancapkan senjata saktimu ketanah berpasir, bukankah senjata pusakamu dapat membuat pasir menjadi hidup dan berlumpur, mereka terperosok masuk dalam perangkap pasir itu. Semakin kuat mereka bergerak, pasir hidup itu akan menarik mereka kedalam. Pasti keduanya akan segera tewas”.
******
Sementara itu di Pesanggrahan Randuwatangan, Prabu Matswapati, Prabu Puntadewa dan Prabu Kresna serta segenap para prajurit utama juga mengadakan pertemuan membahas langkah yang dituju untuk mencapai posisi unggul di esok hari.
Namun sebelumnya, mereka mengadakan upacara pembakaran jasad Resi Bisma secara sederhana, namun dilimputi dengan suasana tintrim dan khidmad. Walau sejatinya Resi Bisma adalah senapati lawan, namun kecintaan para Pandawa terhadap leluhurnya taklah menjadi sekat terhadap rasa bakti mereka.
Prabu Punta yang duduk berdiam diri dengan rasa sedih atas kematian Resi Bisma, tak juga memulai sidang. Namun Prabu Kresna segera memecah kesunyian, menyapa Prabu Punta. Tetapi yang terlontar dari jawaban Prabu Puntadewa, adalah penyesalan diri. Mengapa perang terjadi sehingga menyebabkan tewasnya Resi Bisma.
Kembali Kresna menasihati adik-adiknya. Semua diuraikan lagi, mengapa perang ini harus berlangsung dan intisarinya perang Baratayuda sesungguhnya apa.
Cair kebekuan hati Prabu Punta, segera inti pembicaraan sidang ditanyakan kepada Prabu Puntadewa.“Yayi Prabu, sidang sudah menanti titah paduka untuk langkah yang akan kita arahkan besok hari. Adakah yang perlu yayi sampaikan dalam sidang ini ?”
“Terimakasih kakang Prabu yang selama ini sudah membimbing kami semua, pepatah mengatakan kakang Prabu dan kita semua, sudah terlanjur basah, alangkah lebih baik kita mencebur sekalian” Prabu Puntadewa sejenak terdiam. Dalam pikirannya masih diliputi dengan peristiwa yang sore tadi berlangsung. Selain itu dalam hal strategi, siapa yang tak kenal dengan Raja Dwarawati yang diketahui memiliki ide-ide cemerlang. Maka tidak ragu lagi Prabu Punta melanjutkan. ”Selanjutnya, segala pengaturan langkah, silakan kakang Batara untuk mengatur langkah kita dibawah perintah paduka “.
“Dhuh yayi, kehormatan yang diberikan kepadaku akan aku junjung tinggi, segala kepercayaan akan kami jalankan demi kejayaan kebenaran”.
Senapati yang kemarin belum akan diganti, masih ada ditangan Adimas Drestajumna. Kemarilah lebih mendekat, yayi Drestajumna, Paparkan semua strategi gelar yang akan dimas terapkan besok hari”. Prabu Kresna mulai mengatur kekuatan langkah.
Segera Drestajumna maju menghaturkan sembahnya “Kanda Prabu, segala tata gelar yang kemarin dijalankan, ternyata ampuh untuk mengusir dan mendesak majunya prajurit Kurawa. Dari itu kanda, besok, gelar itu masih saya pertahankan”
“Bagus! Kali ini berhati-hatilah, mereka masih punya banyak orang sakti”. Prabu Kresna mengingatkan.
Dengan tegas Drestajumna melanjutkan “Saya harap, semua para satria yang ada pada posisi penting, jangan sampai keluar dari tata baris yang digariskan. Hal ini penting agar kekuatan kita merata sehingga sentosa menghalau serangan musuh.
*****
Demikianlah. Cakrabyuha dan Garuda Nglayang berbenturan pagi itu, selagi matahari masih belum menuntaskan basahnya embun. Ringkik kuda dan sorak prajurit yang bertenaga segar di pagi itu memicu semangat tempur semua lasykar yang sudah berhari-hari terperas keringatnya. Kali ini, para generasi muda mulai menampakkan kematangannya setelah pengalaman hari hari kemarin. Pancawala anak Prabu Puntadewa mengamuk disekitar Raden Drestajumna.
Tandangnya trampil memainkan senjata membuat banyak korban dari Pihak Kurawa semakin banyak berguguran.
Sementara tak kalah pada sayap seberang, krida pemuda bernama Sanga-sanga, putra Arya Setyaki, bersenjata gada, juga mengamuk membuat giris lawan. Gerakan dan perawakannya yang bagai pinang dibelah dua dengan sang ayah, hanya beda kerut wajah membuat banyak lawan tertipu. Kedua orang ini sepertinya nampak ada dimana-mana.
Tak hanya itu, dibagian lain terlihat dua satria yang kurang lebih sama bentuk perawakan dan kesaktiannya, Raden Gatutkaca dan Raden Sasikirana, kedua orang bapak anak tak mudah dibedakan caranya berperang membuata terperangah prajurit lawan. Tak kurang ratusan prajurit Astina tewas ditangan keduanya termasuk patih dari Negara Windya dan Giripura.
Sementara di sayap gelar garuda nglayang, Werkudara segera dihadang oleh Gardapati. Setelah bertempur sekian lama, kelihatan bahwa Gardapati bukanlah tanding bagi Bimasena. Khawatir segera dapat dibekuk, Gardapati segera bersiasat sesuai yang dipesankan oleh Pandita Durna “Werkudara! Ternyata perang ditempat ramai seperti ini membuat aku kagok. Ayoh kita mencari tempat sepi, agar kita tahu siapa sesungguhnya yang memang benar benar sakti. Kejar aku..!!”
Lupa pesan panglima perang, Werkudara menyangupi “Ayo. .! Apa maumu akan aku layani. Dimanapun arenanya, aku akan hadapi kamu”.
Gembira Gardapati sambil terus bercuap sesumbar, memancing langkah lawannya menuju ketempat yang ditujunya.
Disisi sayap lain Wersaya menjadi lawan tanding Arjuna. Sama halnya dengan Gardapati, Wersaya mengajak Janaka pergi menyingkir menjauh dari arena di Kurusetra.
Diceritakan, sepeninggal kedua pilar kanan kiri barisan, angin kekuatan berhembus di pihak Kurawa. Semangat yang tadinya kendor oleh amukan para satria muda Pendawa, kembali berkobar. Tak sampai setengah hari, Garuda nglayang dibuat kucar-kacir oleh barisan Cakrabyuha Kurawa. Kali ini banyak prajurit Hupalawiya yang menjadi korban amukan dari sekutu Kurawa. Haswaketu, Wrahatbala dengan leluasa mengobrak abrik pertahanan lawan. Dursasana dan Kartamarma serta Jayadrata demikian juga. Ketiganya segera merangsek maju hingga mendekati pesanggrahan para Pandawa. “Maju terus, kita sudah hampir mendekati pesanggrahan Randuwatangan” teriak prajurit Kurawa.
Disisi lain, teriakan dari dalam barisan membahana memecah langit “Bakar pesanggrahan Randu watangan kita akan terus melaju”. Tanpa adanya kedua kekuatan di kedua sayap, Garuda nglayang bagaikan garuda lumpuh. Keadaan barisan Randuwatangan makin kacau, mereka berlarian salang tunjang tanpa ada yang dapat mengatur ulang barisan yang makin terpecah belah.
Murka sang Drestajumna melihat barisannya terdesak hebat. Segera dicari tahu sebabnya. Dipacu kereta perangnya melihat apa yang terjadi. Begitu sudah ketemu sebab musababnya, segera ia memacu kembali kereta kearah Prabu Kresna.
“Duh kakang Prabu, lebih baik saya melepas gelar senapati. Akan aku lepas kalungan bunga tanda senapati ini bila kejadiannya seperti ini”. Ucap Drestajumna memelas.
“Bila saya sudah tidak dianggap lagi, perintah saya kepada kakang Arjuna dan Werkudara dianggap bagai angin lalu, saya sudahi saja peran saya sampai disini” sambungnya sambil bersiap melepas kalungan bunga tanda peran senapati.
“Lho . . ! nanti dulu. Ada rembuk kita rembuk bersama”. Kresna tetap tersenyum tanpa terpengaruh kisruh yang menimpa prajurit Randuwatangan atau Mandalayuda, meredakan kisruh hati Raden Drestajumna.
Katanya lagi “Tidaklah pantas bagi satria sakti semacam Drestajumna, satria pujan yang terjadi dari api suci yang ketika ayahmu Prabu Drupada bersemadi meminta seorang putra sakti mandraguna. Karana yang lahir terdahulu adalah selalu anak perempuan” sejenak Prabu Kresna berhenti, menelan ludah “Tidaklah pantas seorang yang telahir sudah bertameng baja didada dan punggungnya menggendong anak panah, melepas tanggung jawab yang sudah diberikan”.
Tersadar Sang Senapati dengan apa yang sudah terjadi “ Aduh kakang Prabu, seribu salah yang telah aku perbuat, kiranya kakang Prabu dapat memberi pintu maaf seluas samudra. Apakah yang harus aku perbuat untuk memulihkan kekuatan, kakangmas”.
“Baiklah. . ! Bila satu rencana gagal, tentu rencana cadangan harus kita terapkan. Kita panggil satria lain sebagai pilar pengganti dan kita ubah gelar yang sesuai dengan keadaan saat ini”. Kresna membuka nalar Drestajumna.
Siapakah menurut kakanda yang pantas untuk keadaan seperti saat ini?” Sambar Drestajumna.
“Tak ada lain, keponakanmu, anak Arjuna, Abimanyu. Segera kirim utusan untuk menjemput dia” Sri Kresna memberi putusan
Segera Drestajumna maju menghaturkan sembahnya “Kanda Prabu, segala tata gelar yang kemarin dijalankan, ternyata ampuh untuk mengusir dan mendesak majunya prajurit Kurawa. Dari itu kanda, besok, gelar itu masih saya pertahankan”
“Bagus! Kali ini berhati-hatilah, mereka masih punya banyak orang sakti”. Prabu Kresna mengingatkan.
Dengan tegas Drestajumna melanjutkan “Saya harap, semua para satria yang ada pada posisi penting, jangan sampai keluar dari tata baris yang digariskan. Hal ini penting agar kekuatan kita merata sehingga sentosa menghalau serangan musuh.
*****
Demikianlah. Cakrabyuha dan Garuda Nglayang berbenturan pagi itu, selagi matahari masih belum menuntaskan basahnya embun. Ringkik kuda dan sorak prajurit yang bertenaga segar di pagi itu memicu semangat tempur semua lasykar yang sudah berhari-hari terperas keringatnya. Kali ini, para generasi muda mulai menampakkan kematangannya setelah pengalaman hari hari kemarin. Pancawala anak Prabu Puntadewa mengamuk disekitar Raden Drestajumna.
Tandangnya trampil memainkan senjata membuat banyak korban dari Pihak Kurawa semakin banyak berguguran.
Sementara tak kalah pada sayap seberang, krida pemuda bernama Sanga-sanga, putra Arya Setyaki, bersenjata gada, juga mengamuk membuat giris lawan. Gerakan dan perawakannya yang bagai pinang dibelah dua dengan sang ayah, hanya beda kerut wajah membuat banyak lawan tertipu. Kedua orang ini sepertinya nampak ada dimana-mana.
Tak hanya itu, dibagian lain terlihat dua satria yang kurang lebih sama bentuk perawakan dan kesaktiannya, Raden Gatutkaca dan Raden Sasikirana, kedua orang bapak anak tak mudah dibedakan caranya berperang membuata terperangah prajurit lawan. Tak kurang ratusan prajurit Astina tewas ditangan keduanya termasuk patih dari Negara Windya dan Giripura.
Sementara di sayap gelar garuda nglayang, Werkudara segera dihadang oleh Gardapati. Setelah bertempur sekian lama, kelihatan bahwa Gardapati bukanlah tanding bagi Bimasena. Khawatir segera dapat dibekuk, Gardapati segera bersiasat sesuai yang dipesankan oleh Pandita Durna “Werkudara! Ternyata perang ditempat ramai seperti ini membuat aku kagok. Ayoh kita mencari tempat sepi, agar kita tahu siapa sesungguhnya yang memang benar benar sakti. Kejar aku..!!”
Lupa pesan panglima perang, Werkudara menyangupi “Ayo. .! Apa maumu akan aku layani. Dimanapun arenanya, aku akan hadapi kamu”.
Gembira Gardapati sambil terus bercuap sesumbar, memancing langkah lawannya menuju ketempat yang ditujunya.
Disisi sayap lain Wersaya menjadi lawan tanding Arjuna. Sama halnya dengan Gardapati, Wersaya mengajak Janaka pergi menyingkir menjauh dari arena di Kurusetra.
Diceritakan, sepeninggal kedua pilar kanan kiri barisan, angin kekuatan berhembus di pihak Kurawa. Semangat yang tadinya kendor oleh amukan para satria muda Pendawa, kembali berkobar. Tak sampai setengah hari, Garuda nglayang dibuat kucar-kacir oleh barisan Cakrabyuha Kurawa. Kali ini banyak prajurit Hupalawiya yang menjadi korban amukan dari sekutu Kurawa. Haswaketu, Wrahatbala dengan leluasa mengobrak abrik pertahanan lawan. Dursasana dan Kartamarma serta Jayadrata demikian juga. Ketiganya segera merangsek maju hingga mendekati pesanggrahan para Pandawa. “Maju terus, kita sudah hampir mendekati pesanggrahan Randuwatangan” teriak prajurit Kurawa.
Disisi lain, teriakan dari dalam barisan membahana memecah langit “Bakar pesanggrahan Randu watangan kita akan terus melaju”. Tanpa adanya kedua kekuatan di kedua sayap, Garuda nglayang bagaikan garuda lumpuh. Keadaan barisan Randuwatangan makin kacau, mereka berlarian salang tunjang tanpa ada yang dapat mengatur ulang barisan yang makin terpecah belah.
Murka sang Drestajumna melihat barisannya terdesak hebat. Segera dicari tahu sebabnya. Dipacu kereta perangnya melihat apa yang terjadi. Begitu sudah ketemu sebab musababnya, segera ia memacu kembali kereta kearah Prabu Kresna.
“Duh kakang Prabu, lebih baik saya melepas gelar senapati. Akan aku lepas kalungan bunga tanda senapati ini bila kejadiannya seperti ini”. Ucap Drestajumna memelas.
“Bila saya sudah tidak dianggap lagi, perintah saya kepada kakang Arjuna dan Werkudara dianggap bagai angin lalu, saya sudahi saja peran saya sampai disini” sambungnya sambil bersiap melepas kalungan bunga tanda peran senapati.
“Lho . . ! nanti dulu. Ada rembuk kita rembuk bersama”. Kresna tetap tersenyum tanpa terpengaruh kisruh yang menimpa prajurit Randuwatangan atau Mandalayuda, meredakan kisruh hati Raden Drestajumna.
Katanya lagi “Tidaklah pantas bagi satria sakti semacam Drestajumna, satria pujan yang terjadi dari api suci yang ketika ayahmu Prabu Drupada bersemadi meminta seorang putra sakti mandraguna. Karana yang lahir terdahulu adalah selalu anak perempuan” sejenak Prabu Kresna berhenti, menelan ludah “Tidaklah pantas seorang yang telahir sudah bertameng baja didada dan punggungnya menggendong anak panah, melepas tanggung jawab yang sudah diberikan”.
Tersadar Sang Senapati dengan apa yang sudah terjadi “ Aduh kakang Prabu, seribu salah yang telah aku perbuat, kiranya kakang Prabu dapat memberi pintu maaf seluas samudra. Apakah yang harus aku perbuat untuk memulihkan kekuatan, kakangmas”.
“Baiklah. . ! Bila satu rencana gagal, tentu rencana cadangan harus kita terapkan. Kita panggil satria lain sebagai pilar pengganti dan kita ubah gelar yang sesuai dengan keadaan saat ini”. Kresna membuka nalar Drestajumna.
Siapakah menurut kakanda yang pantas untuk keadaan seperti saat ini?” Sambar Drestajumna.
“Tak ada lain, keponakanmu, anak Arjuna, Abimanyu. Segera kirim utusan untuk menjemput dia” Sri Kresna memberi putusan
Syahdan. Ksatrian Plangkawati, Raden Abimanyu atau Angkawijaya sedang duduk bertiga. Ketika itu ia diminta pulang ke Plangkawati terlebih dulu menunggui kandungan Retna Utari yang sedang menjelang kelahiran putranya. Disamping kiri kanannya duduk putri Sri Kresna, Dewi Siti Sundari. Sedang disisi lain Dewi Utari yang tengah mengandung tua. Kedua tangan Dewi Siti Sundari dan Dewi Utari tak hendak lepas dari tangan sang suami.
“Mimpiku semalam sungguh tidak enak kakangmas, siang ini jantungku merasa berdebar tak teratur. Gelisah kala duduk, berdiri berasa lemas kaki ini. Apa gerangan yang akan terjadi” demikian keluh Utari kepada suaminya.
“Utari, jangan dirasa rasa. Mungkin itu bawaan dari anakmu didalam kandungan. Aku sendiri tidak merasai apapun” hibur Abimanyu.
Siti Sundari juga tak juga diam, pegangan tangannya semakin erat menggelendoti suami tercintanya. “Akupun begitu, malah dari kemarin, banyak perabot yang aku pegang, terlepas pecah. Aku punya firasat buruk kakang”. Semakin menggelayut pegangan Siti Sundari.
“Aku tidak mengandung seperti keadaan eyang Utari, apakah ini tanda tanda aku juga mau hamil kakang”.Tambah Siti Sundari yang menyebut madunya masih dengan garis keturunan, eyang.
“Mudah mudahan dewata menjadikan ucapanmu menjadi nyata” hibur Abimanyu sambil tersenyum kearah Siti Sundari. Senyum itulah yang membuat anak dari Prabu Kresna itu, rela menerjang tata susila, ketika kunjungan Abimanyu ke Dwarawati selalu diajaknya Abimanyu kedalam keputren, hingga mereka segera dikawinkan.
Terpotong pembicaraan suami dengan kedua istrinya, ketika Raden Gatutkaca sampai dengan cepat, setelah diberi perintah oleh Sang Senapati. Dengan terbang di angkasa, tanpa membuang waktu sampailah ia di Plangkawati.
“Adimas, mohon maaf atas kelancanganku mengganggu kemesraan kalian bertiga. Sesungguhnya kedatanganku, adalah sebagai utusan dari para sesepuh yang sedang dalam kesulitan di arena peprangan. Dimas diminta sumbangan tenaganya untuk bergabung dengan kami di Kurusetra”.
Gatutkaca mencoba mengawali pembicaraan. Dalam hatinya ia sangat tidak enak karena mengganggu kemesraan mereka, karena kedua istri adiknya dilihatnya tengah menggelayut dipundak sang adik.
Kaget seketika para istri Abimanyu. Seketika itu juga, pecahlah tangis mereka.
Namun lain halnya dengan Abimanyu sendiri. Tersenyum sang Angkawijaya. Wajahnya cerah bagai kanak-kanak mendapat mainan baru. “Sudahlah Utari, Siti Sundari istriku, tak ada yang perlu kamu berdua khawatirkan atas keselamatanmu, aku akan menjaga diriku baik-baik”.
Seribu ucapan Abimanyu menjelaskan arti dari tugas negara disampaikan kepada istrimya, namun tangis keduanya malah be tambah tambah.
Semakin erat kedua istri Angkawijaya memegangi lengan suaminya. Ketika Angkawijaya berdiri hendak pergi, keduanya masih juga memegangi erat selendang sang suami. Tanpa ragu, diirisnya selendang hingga keduanya terlepas. Dengan cepat ia berjalan memanggil Raden Sumitra, saudara seayah. Sesampai Angkawijaya ke istal, kandang kuda, diajaknya serta saudaranya itu.
Sekelabatan lenyaplah kuda sang Angkawijaya yang bernama bernama Kyai Pramugari yang berlari kencang, diiringi tangis kedua istrinya.
“Mimpiku semalam sungguh tidak enak kakangmas, siang ini jantungku merasa berdebar tak teratur. Gelisah kala duduk, berdiri berasa lemas kaki ini. Apa gerangan yang akan terjadi” demikian keluh Utari kepada suaminya.
“Utari, jangan dirasa rasa. Mungkin itu bawaan dari anakmu didalam kandungan. Aku sendiri tidak merasai apapun” hibur Abimanyu.
Siti Sundari juga tak juga diam, pegangan tangannya semakin erat menggelendoti suami tercintanya. “Akupun begitu, malah dari kemarin, banyak perabot yang aku pegang, terlepas pecah. Aku punya firasat buruk kakang”. Semakin menggelayut pegangan Siti Sundari.
“Aku tidak mengandung seperti keadaan eyang Utari, apakah ini tanda tanda aku juga mau hamil kakang”.Tambah Siti Sundari yang menyebut madunya masih dengan garis keturunan, eyang.
“Mudah mudahan dewata menjadikan ucapanmu menjadi nyata” hibur Abimanyu sambil tersenyum kearah Siti Sundari. Senyum itulah yang membuat anak dari Prabu Kresna itu, rela menerjang tata susila, ketika kunjungan Abimanyu ke Dwarawati selalu diajaknya Abimanyu kedalam keputren, hingga mereka segera dikawinkan.
Terpotong pembicaraan suami dengan kedua istrinya, ketika Raden Gatutkaca sampai dengan cepat, setelah diberi perintah oleh Sang Senapati. Dengan terbang di angkasa, tanpa membuang waktu sampailah ia di Plangkawati.
“Adimas, mohon maaf atas kelancanganku mengganggu kemesraan kalian bertiga. Sesungguhnya kedatanganku, adalah sebagai utusan dari para sesepuh yang sedang dalam kesulitan di arena peprangan. Dimas diminta sumbangan tenaganya untuk bergabung dengan kami di Kurusetra”.
Gatutkaca mencoba mengawali pembicaraan. Dalam hatinya ia sangat tidak enak karena mengganggu kemesraan mereka, karena kedua istri adiknya dilihatnya tengah menggelayut dipundak sang adik.
Kaget seketika para istri Abimanyu. Seketika itu juga, pecahlah tangis mereka.
Namun lain halnya dengan Abimanyu sendiri. Tersenyum sang Angkawijaya. Wajahnya cerah bagai kanak-kanak mendapat mainan baru. “Sudahlah Utari, Siti Sundari istriku, tak ada yang perlu kamu berdua khawatirkan atas keselamatanmu, aku akan menjaga diriku baik-baik”.
Seribu ucapan Abimanyu menjelaskan arti dari tugas negara disampaikan kepada istrimya, namun tangis keduanya malah be tambah tambah.
Semakin erat kedua istri Angkawijaya memegangi lengan suaminya. Ketika Angkawijaya berdiri hendak pergi, keduanya masih juga memegangi erat selendang sang suami. Tanpa ragu, diirisnya selendang hingga keduanya terlepas. Dengan cepat ia berjalan memanggil Raden Sumitra, saudara seayah. Sesampai Angkawijaya ke istal, kandang kuda, diajaknya serta saudaranya itu.
Sekelabatan lenyaplah kuda sang Angkawijaya yang bernama bernama Kyai Pramugari yang berlari kencang, diiringi tangis kedua istrinya.
Gabung di FP kami yuk : http://facebook.com/caritawayang
0 comments:
Post a Comment