MALAM itu mereka semua duduk di sana, tanpa mengeluarkan suara. Matsyapati raja Wirata, Prabu Drupada dari Pancala, Prabu Baladewa dari Mandura, Sri Kresna dari Dwaraka, Pandawa Lima dan Drupadi dari Indraprastha, serta Yuyudana dari Satwata. Tampak pula Subadra dan Abimanyu, anak Arjuna.
Baru saja usai pesta perkawinan Abimanyu-Utari yang berlangsung tujuh hari tujuh malam. Semua raja yang diundang sudah pulang. Tinggal mereka kini, akan bicara tentang bagaimana caranya meminta kembali Indraprastha dari Kurawa.
“Aku Yuyudana bertanya, apalagi yang ditunggu Pandawa? Dunia berada di pihak kita. Apalagi yang ditakuti? Biarpun mereka adalah saudara, tetapi Kurawa itu sumber kekacauan dunia. Hancurkan mereka sekarang, jangan beri ampun.”
Semua orang terdiam, saling memandang. Penderitaan Pandawa telah dimaklumi semua orang. Arjuna bicara.
“Seorang kesatria selalu siap mati untuk sebuah perang. Namun, seorang kesatria juga mempunyai aturan. Mengapa kita selalu mengira akan begitu mudah menggempur Kurawa? Hastina adalah negara yang tidak mudah ditaklukkan. Aku Arjuna telah mempersiapkan diri untuk peperangan yang terbesar, tapi siapakah yang bisa mengalahkan para perkasa seperti Resi Bhisma dan Mahaguru Dorna? Barangkali Kurawa telah mendapat pelajaran dari perang dengan Wirata, mengapa kita tidak lebih dulu bertanya?”
Yudhistira bicara. “Kita harus sabar. Bukankah Kurawa itu saudara kita? Hastina penuh sesak dengan orang-orang yang harus kita hormati. Mengapa kita harus menggempurnya? Kami Pandawa telah banyak menderita, karena itulah kami tidak ingin membuat orang lain menderita. Bagi saya, Yudhistira, tidak usah seluruh Indraprastha, dikembalikan hanya sebagianpun tidak apa-apa, akan saya terima dengan gembira. Kami para Pandawa tidak pernah membayangkan untuk menumpas Kurawa. Apalagi Resi Bhisma, Mahaguru Dorna, dan siapa pun di sana.”
Kresna bertanya. “Bagaimana jika mereka ingkar, wahai Yudhistira, bagaimana jika tak sejengkal tanah pun mereka kembalikan? Apakah para Pandawa akan tetap menerimanya?”
“Saya tak percaya mereka akan melakukannya.”
Dari sudut, terdengar suara perempuan yang lantang.
“Bolehkah aku bicara?”
Semua yang hadir menoleh. Drupadi telah berdiri, maju ke tengah balairung. Berdiri seperti seorang pembaca puisi.
“Bicaralah Drupadi,” ujar Kresna, “Kita semua bebas bicara.”
Semua orang memerhatikan perempuan itu, yang rambutnya terurai tak pernah disanggul. Ia mengenakan sari berwarna biru langit, sederhana seperti seorang sudra, namun matanya cemerlang seperti permata. Drupadi mengibaskan rambutnya yang panjang hampir menyentuh lantai.
“Kalian lihat rambutku? Kalian lihat rambutku?! Inilah rambut yang tak pernah disisir dan tak pernah digelung semenjak dijambak Dursasana untuk menyeretku dari keputren Hastina ke istana. Apakah kalian sudah lupa? Apakah kalian sudah lupa penghinaan Kurawa yang tiada tara? Aku telah bersumpah tidak akan menyanggulkannya jika belum dikeramasi darah Dursasana. Apakah para Pandawa akan membiarkan rambutku ini terurai selamanya? Di manakah Bima yang telah bersumpah menghirup darah Dursasana? Mengapa dia tidak bicara? Aku Drupadi telah begitu setia dan begitu menderita bersama Pandawa, apakah aku ini tidak berarti apa-apa? Kalian mengasihani Duryudana, Dursasana, Burisrawa, Jayadrata, Aswatama, kalian tidak rela membunuhnya–apakah aku harus menjadi laki-laki seperti Shikandi yang menunggu-nunggu saat pertempurannya dengan Bhisma?”
Suara Drupadi yang lantang menggema dalam keluasan balairung. Di luar, para penjaga ikut menjadi tegang.
“Para Pandawa mengaku dirinya ksatria, tapi tidak melaksanakan kewajibannya, membela istri mereka yang setia. Apakah seorang perempuan boleh dihina dan tidak dipedulikan? Aku Drupadi telah selalu menjunjung tinggi mereka, terlunta-lunta dan tersia-sia dalam penderitaan tak terbayangkan. Aku telah selalu mengabdi kepada mereka, tapi apa pengabdian mereka kepadaku? Bukankah pria dan wanita itu setara? Tapi mereka tidak pernah menyetarakan perempuan! Aku adalah istri mereka berlima. Mereka bahkan tidak bertanya pendapatku apa! Padahal di antara semua orang yang hadir di sini, hanya akulah terseret-seret segenap kebodohan mereka. Destarastra yang buta telah mengembalikan Indraprastha kepadaku dan aku memberikannya kepada Yudhistira. Apa salahnya? Apakah hanya karena aku seorang perempuan dan seorang istri, maka aku tak bisa memberikan sesuatu kepada lima suamiku? Yudhistira berjudi kembali atas nama kehormatan Pandawa. Apa yang salah dengan diriku? Apa yang tidak terhormat dengan pemberianku? Itu penghinaan kepada perempuan!”
“Tunggu dulu Drupadi,” Arjuna menyela, “Engkau tidak usah mengungkit-ungkit kesetiaan, tidak seorang pun dari kami minta engkau mengikuti kami mengembara. Itu keinginanmu sendiri. Bahkan kami telah meminta engkau tidak ikut saja. Apakah engkau menyesal ikut kami ke dalam rimba?”
“Tidak!”
Suara itu terdengar begitu lantang.
“Aku adalah bagian dari Pandawa. Bukankah aku istri kalian berlima? Tapi apakah kalian merasa aku bagian diri kalian? Pandawa tampaknya sangat menyayangi Kurawa, sedangkan Kurawa itu telah menghinaku, istri kalian. Dursasana menyeret dan menelanjangi aku di depan Kurawa dan di depan kalian. Aku telah mereka perkosa. Apakah itu tidak berarti apa-apa untuk kalian? Aku sangat marah atas pikiran untuk menahan kesabaran. Seorang perempuan selalu dituntut untuk bersabar, tapi ada saat untuk tidak lagi bersabar. Sudah waktunya kalian para kesatria mengambil tindakan. Kesatria ada bukan untuk dihina, karena membiarkan diri dihina berarti pula membiarkan penghinaan kepada manusia. Aku seorang perempuan dan aku masih manusia, aku tidak akan membiarkan diriku dihina!”
Drupadi masih berdiri di tengah balairung berlantai pualam. Di atas genting terdengar suara burung-burung malam. Mereka menyambar setiap kata yang terlontar dari mulut Drupadi, dan membawanya ke swargaloka, untuk disimpan dalam perpustakaan dewa-dewa.Suasana sunyi. Lebih sunyi dari malam yang tersunyi. Semua orang terdiam mendengarkan suara Drupadi yang bergetar, bagai menularkan penderitaannya langsung ke dalam pembuluh darah siapa pun yang mendengarnya.Drupadi berjalan perlahan mendekati Yudhistira, gesekan kaki dan kainnya terdengar jelas menyapu lantai. Di hadapannya ia tidak bersimpuh seperti biasanya. Ia tetap berdiri.
“Maafkanlah aku Yudhistira, tapi kali ini aku harus bicara. Aku mengatakan yang sesungguhnya.”
Lantas ia kembali ke tempat duduknya, di samping Subadra.
Kresna berdiri. “Sudahlah, mari kita menghapus emosi.”
Semua orang bersila, menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya pelan-pelan sampai 20 kali. Kemudian diputuskan, bahwa Kresna akan dikirim sebagai utusan.
pohon beringin di alun-alun, o
di bawahnya tidur gelandangan
malam hari penuh pelacur
menanti dengan rasa terlantar
jangan ke sana Pancawala — jangan
siluman menabur ranjau kenangan, o!
di bawahnya tidur gelandangan
malam hari penuh pelacur
menanti dengan rasa terlantar
jangan ke sana Pancawala — jangan
siluman menabur ranjau kenangan, o!
Di keputren, Subadra dan Utari menghiasi rambut Drupadi yang panjang dengan bunga-bunga melati.
“Apakah kiranya engkau yakin akan bisa mengeramasi rambut ini dengan darah Dursasana?” Subadra bertanya.
“Ya, tentu saja, kenapa tidak?”
“Dursasana licin seperti belut, tidak seorang pun pernah menangkapnya.”
“Aku tidak akan tidur dengan seorang pun dari Pandawa selama ia belum terbunuh. Aku mau semua Kurawa itu mati, dan aku akan mengeramasi rambut ini dengan darah Dursasana.”
Utari mengelus rambut Drupadi. “Rambut ini luar biasa, sudah 13 tahun tak disentuh, tetap halus seperti sutra, wangi seperti bunga.”
“Oh, Kresna menjagaku seperti Wisnu menjaga Laksmi. Aku terlunta-lunta dan terhina, tapi aku tak kurang suatu apa. Kami bertemu dalam meditasi, dan hidup menjadi mudah dalam kedamaian.”
Subadra berkata.”Tetapi tadi malam dikau marah-marah Dewi, seperti perempuan pasar yang mengumbar dendam.”
“Kemarahan adalah hak manusia, dan seorang kesatria tidak boleh melupakan kewajibannya. Para Pandawa merasa dirinya suci dengan menahan kemarahannya menjadi kesabaran semu. Itu suatu pengingkaran kepada kehidupan. Kita mempunyai hak untuk suatu kemarahan yang beralasan, dan aku menggunakan hak seorang perempuan.”
Subadra dan Utari berpandangan.
Drupadi berkata lagi.”Di dunia ini kaum lelaki selalu merasa dirinya paling menentukan. Cobalah kita perempuan mengambil tindakan, maka mereka akan kelimpungan.”
Burung-burung kenari dengan bulunya yang kuning dan hijau berlompatan riuh dari dahan ke dahan. Drupadi teringat pengalamannya di dalam hutan. Di sana sungguh mereka mendapatkan kedamaian, namun para kesatria bukanlah brahmana yang boleh mengasingkan diri dalam kesunyian. Dalam suatu pertemuan, Kresna yang mengatur kehidupan telah mengisyaratkan.
“Bhisma. Dorna, dan Salya yang digjaya, mereka semua akan dikalahkan. Bima akan membunuh Duryudhana dan Dursasana. Sedangkan Arjuna akan menamatkan riwayat anak kusir Adirata. Sudahlah. Hentikan tangismu Drupadi. Segalanya telah menjadi suratan.”
Drupadi tidak menyukai suratan. Kehidupan manusia tidak ada artinya tanpa perjuangan. Jika segalanya telah menjadi suratan, apakah yang masih menarik dalam hidup yang berkepanjangan? Apakah usaha manusia tidak ada artinya? Apakah semuanya memang sudah ditentukan oleh dewa-dewa? Drupadi merasa kehidupan ini tidak adil. Mengapa penderitaan ditimpakan kepada perempuan?
Gabung di FP kami yuk : http://facebook.com/caritawayang
0 comments:
Post a Comment