Sejenak kita kembali kepada saat padang Kurusetra bergejolak, atas kehendak Adipati Karna dalam menjalankan perang di waktu malam. Kita beralih ke tempat yang lain namun dalam waktu yang bersamaan, di hutan Minangsraya. Ditempat ini terlihat bentangan suasana alam nan luas. Suasana yang tergelar samar dan muram, seperti halnya cahaya kunang kunang. Tak berdaya sinarnya, kalah tertelan oleh cahaya bulan purnama di awang awang. Ketika itu pranata mangsa telah menunjuk pada musim kemarau dan awan tipis berarak di kaki langit, menjadikan terpesona yang melihatnya. Bahkan juga mahluk seisi hutanpun ikut terpana, batang pohon kayu besar-pun terbakar.
Gambaran suasana yang ada di hutan Minangsraya ini, saat Pandita Durna yang terlunta lunta dan sakit hati, dijatuhi murka sang Duryudana. Duduk bersila dibawah pohon baniyan, resi Durna mengheningkan cipta. Semua pancaindriya dimatikan, hanya rasa jati yang dimunculkan. Terseret sukma sang begawan kedalam alam layap leyep, alam samar. Dan pesatlah laju suksma sang Pandita melesat keharibaan sang gurunadi, guru sejati, Ramaparasu.
Kaget sang Ramaparasu melihat datangnya Kumbayana yang menampakkan wajah murung.
Sembah bakti telah dihaturkan ke haribaan Ramaparasu atau Ramabargawa. Kemudian Kumbayana menyampaikan segala isi hatinya.
“Guru, hamba telah kehilangan harta yang tak bernilai harganya. Bahkan seluruh raga ini telah terasa bagai terseret runtuhan gunung Mahameru. Luluh lantak sudah tak berujud lagi”
“Apa sebab kamu merasa demikian, segala kesaktian, guna kawijayan kanuragan, kasantikan telah kau terima dariku waktu lalu, bagaikan telah tertuang habis mengalir kepadamu. Dan bila kamu merasa telah kehilangan harta yang tak ternilai seperti yang kau sebutkan tadi, segera jelaskan apa maksudnya.” Rama Bargawa menanyakan, namun dalam hatinya ia tidak syak lagi, bahwa didepan telah menjelang peristiwa besar yang menanti garis perjalanan Kumbayana muridnya.
“Bapa Guru, hamba telah kehilangan kepercayaan dari junjungan hamba Prabu Duryudana dalam mengemban tugas sebagai seorang senapati. Inilah yang hamba anggap kehilangan yang terbesar dalam hidup. Kehilangan kepercayaan yang berturut turut terjadi, setelah putra kesayangan hamba satu satunya Aswatama, telah diusir jauh dari pandangan mata junjungannya. Dan kini kehilangan kepercayaan dari seorang raja mengenai kegagalan hamba dalam melakukan tugas, adalah, bagai runtuh dan leburnya harga diri. Sekali telah runtuh, banyak waktu dan usaha yang teramat sulit untuk mendirikannya kembali, malah mungkin tak kan pernah lagi terbangun kepercayaan itu lagi” sedih Kumbayana memuntahkan isi hatinya, mukanya tertunduk dalam, menanti jawab sang guru yang apapun ucapannya nanti, dalam niatnya ia akan menjalankan sepenuh hati.
“Jadi apa maksudmu sekarang ? Apalagikah yang harus aku berikan untuk mengatasi masalahmu ?” sang guru sebenarnya berwatak keras sepanjang hidupnya, namun sekarang tersentuh hatinya menanyakan maksud Kumbayana.
“Berilah hamba pencerahan. Krisis kepercayaan yang terjadi pada diri hamba sekarang, telah menutup nalar hamba terhadap segala pertimbangan dan keputusan yang harus hamba ambil. Sekali lagi mohon pencerahannya bapa guru.” Memohon dengan seribu hormat Kumbayana kepada sang guru.
“Sekarang kamu sedang menimbang perkara apa ?” Kembali Ramaparasu menegaskan pertanyaannya.
“Haruskah hamba meneruskan peran yang sedang hamba pikul dipundak ini, apakah cukup disini riwayat Kumbayana, dan kemudian beban itu kami letakkan ? Kemudian hamba minta kerelaan paduka guru, agar hamba dapat menjadi abdi paduka guru selama lamanya !” Kumbayana mengakhiri kalimat itu dengan kesan mendalam bagi sang guru bahwa ia benar benar ada dalam keputus asaan yang berat.
“Kumbayana, pantang bagi manusia sepertimu yang walaupun pada kenyataanya kamu adalah seorang pandita, namun dalam jiwamu masih bersemayam jiwa satria yang kuat. Seharusnya kamu tidaklah meletakkan beban yang disandangkan ke punggungmu, bila belum memperoleh kata perintah berhenti dari yang memberi beban. Apalagi menyerah kemudian memilih pergi ke alam kesejatian”. Sejenak Rama Parasu berhenti berbicara, ia mengamati perubahan air muka Kumbayana. Lanjutnya “Bila alam kesejatian yang hendak kau raih, jalan kearah itu janganlah dilalui melewati keputus asaan. Segeralah kembali ke medan Kurusetra. Tak perlulah kamu kembali kehadapan Duryudana, tapi segeralah kerjakan apa yang menjadi tugasmu. Menang atau kalah itu adalah darma satria. Menang kamu harus meneruskan darmamu, dan bila kalah, jalan kesejatianlah itulah benar yang seharusnya kau lalui menuju tepet suci. Itu adalah seharusnya jalan utama bagi seorang kesatria yang harus dilalui ”
“Baik, hamba akan menuruti segala sabda paduka Guru.” Mengangguk Kumbayana, mengerti yang dimaksudkan oleh gurunya.
“Terimalah bekal sarana sakti dalam menuntaskan tugas itu. Bulu merak ini mampu membuatmu tak kan terlihat dengan mata telanjang. Syaratnya adalah kamu tidak boleh bicara ketika menggunakannya. Tetapi bila anak anakmu Pandawa kuasa untuk mengantarmu kealam abadi nanti, itu pertanda bahwa merekalah yang sebenarnya berlaku benar dan pantas memenangi perang, atau sebaliknya.”
Kembali ke raga, sukma sang Kumbayana, setelah mendapatkan pembekalan dari sang gurunadi. Langkah ringan Pandita Durna diayun kembali ke Kurusetra. Ia telah menimbang nimbang tentang hal dihadapannya. Mukti dan mati sekarang terlihat bagai hanya tersekat oleh lembaran setipis kulit bawang. Ketidak percayaan akan kemampuannya sebagai senapati, akan ia balikkan menjadi keberhasilan bagi negara tempat ia mengayom, bagi dirinya sendiri dan terpenting bagi anak turunnya Aswatama. Itulah tekad yang menguat di hatinya. Apapun kejadiannya nanti, telah tidak menjadi beban lagi baginya.
Malam tinggal sepotong. Malam yang ditempat lain, di padang Kurusetra baru saja terhenti persabungan nyawa, prajurit Pringgandani melawan prajurit dari negara Awangga dan segenap jajahannya. Malam dengan pemandangan dan peristiwa yang mengerikan. Namun ditempat ini, langkah Pandita Durna seakan diberkati alam semesta. Pemandangan alam yang dilalui menampakkan asrinya hamparan keindahan bagai sebuah tamasya. Bulan lepas purnama mengambang dilangit, sinarnya terbias oleh air telaga bening bagai bayangan seekor kura kura yang mengambang. Sementara sisa gelap malam masih mengelipkan bintang bintang yang menyebar bagai terpencarnya sari bunga tertiup angin. Ayam hutan berkokok merdu dari arah ladang pegagan, ketika sang Pendita telah sampai dipinggir hutan menjelang terang fajar.
*****
Dan ketika semburat merah matahari kembali menerangi hamparan perdu pinggir hutan Minangsraya, dilihatnya Patih Sangkuni berjalan diiring oleh anak terkasihnya Aswatama. Dapat akal ia untuk menguji ilmunya, segera ajian Laring Merak dirapal menurut petunjuk sang guru. Dicolek patih Sangkuni dengan gaya kocak kebiasaan mereka berdua yang sering bercanda.
“Aswatama, kamu mencolek colek aku, ada apa ?!” Sangkuni yang terheran, menanyakan ke Aswatama ketika punggungnya merasa ada yang menyentuh.
“Hamba tidak melakukan itu paman” sanggah Aswatama.
“Lha kalau begitu, pasti disini banyak jin setan periprayangan yang kerjaannya mengganggu manusia !” Sangkuni setengah berbisik mengatakan kepada Aswatama.
“Tapi hamba tak diganggunya. Mungkin hamba orang yang tidak banyak dosa jadi tidak diganggu.” Jawab Aswatama sekenanya.
“Kalau begitu aku ini manusia yang banyak dosa, begitu ?” kembali Sangkuni menegaskan.
“Ya begitu, memang kenyataannya !” terkekeh Pandita Durna menyahut. Maka tampaklah sosok Durna dihadapan keduanya.
Gembira Patih Sangkuni segera merangkul Pandita Durna. Kemudian berganti sang Pandita merangkul anak tunggal kesayangannya, Aswatama.
“Lha Wakne Gondel, sudah dua malam aku mencarimu, ayolah kakang, Sinuwun sudah mengharapkan wakne Gondel untuk meneruskan peran andika sebagai senapati. Sinuwun Prabu Duryudana menyampaikan rasa sesal yang tak terkira. Maklumlah, beliau banyak beban dipunggungnya yang kian berat. Apalagi kematian putra lelaki satu satunya, telah meruntuhkan moral perangnya. Tugas wakne Gondel sekarang adalah, mengangkat kembali moral sinuwun Prabu Duryudana.”
“ Ya aku sanggupi. Hari ini sebelum matahari tenggelam, aku sanggup menyelesaikan perang dengan kemenangan !“. Pendeta Durna menjanjikan.
“ Anakku Aswatama, untukmu aku pesankan, jangan dulu kamu ikut dalam pertempuran ini, pergilah menjauh dari arena. Kalau aku sudah dapat membuktikan kerjaku, pasti sinuwun Duryudana akan mengampuni kesalahan kamu “.
Berita kembalinya Pandita Durna telah memberi bahan bakar semangat baru bagi prajurit Kurawa. Prabu Duryudana gembira mendengar kedatangan kembali agul agul sakti sebagai senapati. Melebihi kegembiraan ketika malam tadi, kakak iparnya, Adipati Karna telah berhasil membunuh Gatutkaca.
Walaupun sang Pendita tidak langsung menghadap, namun kesediaannya kembali mengatur peperangan yang disampaikan oleh pamannya, Sangkuni, telah menjadikannya Duryudana bangkit kepercayaan dirinya lagi.
Perang campuh pun kembali berlangsung siang itu. Telah tersedot habis tenaga dalam peprangan malam kemarin, sisa prajurit Kurawa yang selamat dari kehancuran perang malam telah kembali bertarung mengadu peruntungan siang ini.
Melihat kelelahan yang mendera para prajurit Bulupitu, sang Senapati tidak tega. Maka diambil alihlah kendali peperangan dengan peran utama ada pada tangan Pandita Durna sendiri. Amukan sang Senapati tua, yang kembali dari pengasingan diri kemarin hari, membawa korban sedemikian besar bagi para prajurit Amarta. Senjata Jayangkunang ditangannya dengan ajian laring merak yang membuatnya tidak kasat mata. Mengerikan bagai seberkas api ndaru braja berkobaran ditengah palagan peperangan, menghanguskan siapapun yang berani menghadang gerakannya. Gerakannya yang kadang mematikan nyala kerisnya dan berpindah posisi amukannya membuat lawan kerepotan dalam menentukan dimana arena amukannya akan terjadi.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan bagi prajurit Amarta, Drestajumna segera menghadap Sri Kresna dan Arjuna.
“Dhuh para sekti, kami meminta pertimbangan kepada paduka, apakah yang harus kita lakukan agar dapat menghentikan amukan senapati yang tak terlihat dengan mata para prajurit”.
“Adimas Drestajumna, sudah aku pikirkan sebelum dimas sampai dihadapanku. Aku akan mengutus kakakmu Arjuna, untuk menghentikan jatuhnya korban dari tangan Pandita Durna”. Tenang Prabu Kresna memberikan ketegaran hati kepada sang senapati Pandawa.
“Adikku Arjuna, hanya kamulah yang dapat menghentikan amukan gurumu Resi Kumbayana. Hanya pesanku, jauhkan rasa yang mengatakan itu adalah gurumu yang harusnya kamu hormati dan patuhi semua perkataannya. Ingatlah kata kataku waktu lalu, yang mengatakan, ini adalah perang dimana tidak ada balas budi antara guru dengan muridnya. Yang ada hanyalah perang dimana tempat itu adalah arena untuk meluwar segala janji dan memetik yang kita tanam”. Kresna mengulangi pesan yang pernah ia sampaikan ketika perang baru saja berlangsung. Ketika itu ragu hati Arjuna menyaksikan lawannya adalah para saudara sendiri, paman, eyang, bahkan gurunya sendiri, hingga membuat semangatnya luluh dan ia jatuh terduduk dengan badan yang gemetar.
“Kata kata kanda Prabu akan kami junjung tinggi dan akan hamba laksanakan. Mohon petunjuk kanda Prabu selanjutnya” Mantap Janaka menjawab.
“Baiklah. Sarana untuk melihat keberadaan lawanmu adalah rumput Sulanjana yang kamu miliki sejak lama, pergunakanlah untukmu sendiri dan orang orang yang kamu percayai dalam membantu usahamu, adimas”. Pesan Prabu Kresna mengakhiri pembicaraan.
Maka beranjaklah Arjuna mengatur barisan dan menggunakan sarana agar dapat melihat dimana adanya musuh yang tidak terlihat itu. Sementara Kresna memberi pesan juga, agar mengulur waktu karena dirinya hendak mencari keberadaan Werkudara yang meninggalkan Tegal Kuru tanpa pamit hendak kemana.
Prabu Drupada yang mendapatkan jatah rumput sulanjana segera menghadang gerakan Pandita Durna. Ia merasa masih punya ganjalan dengan teman karibnya dahulu. Setengah memaksa kepada Arjuna dan anaknya Drestajumna, agar ia dapat melayani senapati Bulupitu itu.
Maka ketika sari rumput sulanjana sudah diteteskan pada matanya, Drupada dengan mudahnya mendapati dimana Begawan Durna berada.
“Heh Kumbayana, tak ada gunanya kamu bersembunyi dalam ajianmu. Ayolah kita menentukan siapa sejatinya yang lebih benar dalam persoalan trah Barata ini”.Gambaran suasana yang ada di hutan Minangsraya ini, saat Pandita Durna yang terlunta lunta dan sakit hati, dijatuhi murka sang Duryudana. Duduk bersila dibawah pohon baniyan, resi Durna mengheningkan cipta. Semua pancaindriya dimatikan, hanya rasa jati yang dimunculkan. Terseret sukma sang begawan kedalam alam layap leyep, alam samar. Dan pesatlah laju suksma sang Pandita melesat keharibaan sang gurunadi, guru sejati, Ramaparasu.
Kaget sang Ramaparasu melihat datangnya Kumbayana yang menampakkan wajah murung.
Sembah bakti telah dihaturkan ke haribaan Ramaparasu atau Ramabargawa. Kemudian Kumbayana menyampaikan segala isi hatinya.
“Guru, hamba telah kehilangan harta yang tak bernilai harganya. Bahkan seluruh raga ini telah terasa bagai terseret runtuhan gunung Mahameru. Luluh lantak sudah tak berujud lagi”
“Apa sebab kamu merasa demikian, segala kesaktian, guna kawijayan kanuragan, kasantikan telah kau terima dariku waktu lalu, bagaikan telah tertuang habis mengalir kepadamu. Dan bila kamu merasa telah kehilangan harta yang tak ternilai seperti yang kau sebutkan tadi, segera jelaskan apa maksudnya.” Rama Bargawa menanyakan, namun dalam hatinya ia tidak syak lagi, bahwa didepan telah menjelang peristiwa besar yang menanti garis perjalanan Kumbayana muridnya.
“Bapa Guru, hamba telah kehilangan kepercayaan dari junjungan hamba Prabu Duryudana dalam mengemban tugas sebagai seorang senapati. Inilah yang hamba anggap kehilangan yang terbesar dalam hidup. Kehilangan kepercayaan yang berturut turut terjadi, setelah putra kesayangan hamba satu satunya Aswatama, telah diusir jauh dari pandangan mata junjungannya. Dan kini kehilangan kepercayaan dari seorang raja mengenai kegagalan hamba dalam melakukan tugas, adalah, bagai runtuh dan leburnya harga diri. Sekali telah runtuh, banyak waktu dan usaha yang teramat sulit untuk mendirikannya kembali, malah mungkin tak kan pernah lagi terbangun kepercayaan itu lagi” sedih Kumbayana memuntahkan isi hatinya, mukanya tertunduk dalam, menanti jawab sang guru yang apapun ucapannya nanti, dalam niatnya ia akan menjalankan sepenuh hati.
“Jadi apa maksudmu sekarang ? Apalagikah yang harus aku berikan untuk mengatasi masalahmu ?” sang guru sebenarnya berwatak keras sepanjang hidupnya, namun sekarang tersentuh hatinya menanyakan maksud Kumbayana.
“Berilah hamba pencerahan. Krisis kepercayaan yang terjadi pada diri hamba sekarang, telah menutup nalar hamba terhadap segala pertimbangan dan keputusan yang harus hamba ambil. Sekali lagi mohon pencerahannya bapa guru.” Memohon dengan seribu hormat Kumbayana kepada sang guru.
“Sekarang kamu sedang menimbang perkara apa ?” Kembali Ramaparasu menegaskan pertanyaannya.
“Haruskah hamba meneruskan peran yang sedang hamba pikul dipundak ini, apakah cukup disini riwayat Kumbayana, dan kemudian beban itu kami letakkan ? Kemudian hamba minta kerelaan paduka guru, agar hamba dapat menjadi abdi paduka guru selama lamanya !” Kumbayana mengakhiri kalimat itu dengan kesan mendalam bagi sang guru bahwa ia benar benar ada dalam keputus asaan yang berat.
“Kumbayana, pantang bagi manusia sepertimu yang walaupun pada kenyataanya kamu adalah seorang pandita, namun dalam jiwamu masih bersemayam jiwa satria yang kuat. Seharusnya kamu tidaklah meletakkan beban yang disandangkan ke punggungmu, bila belum memperoleh kata perintah berhenti dari yang memberi beban. Apalagi menyerah kemudian memilih pergi ke alam kesejatian”. Sejenak Rama Parasu berhenti berbicara, ia mengamati perubahan air muka Kumbayana. Lanjutnya “Bila alam kesejatian yang hendak kau raih, jalan kearah itu janganlah dilalui melewati keputus asaan. Segeralah kembali ke medan Kurusetra. Tak perlulah kamu kembali kehadapan Duryudana, tapi segeralah kerjakan apa yang menjadi tugasmu. Menang atau kalah itu adalah darma satria. Menang kamu harus meneruskan darmamu, dan bila kalah, jalan kesejatianlah itulah benar yang seharusnya kau lalui menuju tepet suci. Itu adalah seharusnya jalan utama bagi seorang kesatria yang harus dilalui ”
“Baik, hamba akan menuruti segala sabda paduka Guru.” Mengangguk Kumbayana, mengerti yang dimaksudkan oleh gurunya.
“Terimalah bekal sarana sakti dalam menuntaskan tugas itu. Bulu merak ini mampu membuatmu tak kan terlihat dengan mata telanjang. Syaratnya adalah kamu tidak boleh bicara ketika menggunakannya. Tetapi bila anak anakmu Pandawa kuasa untuk mengantarmu kealam abadi nanti, itu pertanda bahwa merekalah yang sebenarnya berlaku benar dan pantas memenangi perang, atau sebaliknya.”
Kembali ke raga, sukma sang Kumbayana, setelah mendapatkan pembekalan dari sang gurunadi. Langkah ringan Pandita Durna diayun kembali ke Kurusetra. Ia telah menimbang nimbang tentang hal dihadapannya. Mukti dan mati sekarang terlihat bagai hanya tersekat oleh lembaran setipis kulit bawang. Ketidak percayaan akan kemampuannya sebagai senapati, akan ia balikkan menjadi keberhasilan bagi negara tempat ia mengayom, bagi dirinya sendiri dan terpenting bagi anak turunnya Aswatama. Itulah tekad yang menguat di hatinya. Apapun kejadiannya nanti, telah tidak menjadi beban lagi baginya.
Malam tinggal sepotong. Malam yang ditempat lain, di padang Kurusetra baru saja terhenti persabungan nyawa, prajurit Pringgandani melawan prajurit dari negara Awangga dan segenap jajahannya. Malam dengan pemandangan dan peristiwa yang mengerikan. Namun ditempat ini, langkah Pandita Durna seakan diberkati alam semesta. Pemandangan alam yang dilalui menampakkan asrinya hamparan keindahan bagai sebuah tamasya. Bulan lepas purnama mengambang dilangit, sinarnya terbias oleh air telaga bening bagai bayangan seekor kura kura yang mengambang. Sementara sisa gelap malam masih mengelipkan bintang bintang yang menyebar bagai terpencarnya sari bunga tertiup angin. Ayam hutan berkokok merdu dari arah ladang pegagan, ketika sang Pendita telah sampai dipinggir hutan menjelang terang fajar.
*****
Dan ketika semburat merah matahari kembali menerangi hamparan perdu pinggir hutan Minangsraya, dilihatnya Patih Sangkuni berjalan diiring oleh anak terkasihnya Aswatama. Dapat akal ia untuk menguji ilmunya, segera ajian Laring Merak dirapal menurut petunjuk sang guru. Dicolek patih Sangkuni dengan gaya kocak kebiasaan mereka berdua yang sering bercanda.
“Aswatama, kamu mencolek colek aku, ada apa ?!” Sangkuni yang terheran, menanyakan ke Aswatama ketika punggungnya merasa ada yang menyentuh.
“Hamba tidak melakukan itu paman” sanggah Aswatama.
“Lha kalau begitu, pasti disini banyak jin setan periprayangan yang kerjaannya mengganggu manusia !” Sangkuni setengah berbisik mengatakan kepada Aswatama.
“Tapi hamba tak diganggunya. Mungkin hamba orang yang tidak banyak dosa jadi tidak diganggu.” Jawab Aswatama sekenanya.
“Kalau begitu aku ini manusia yang banyak dosa, begitu ?” kembali Sangkuni menegaskan.
“Ya begitu, memang kenyataannya !” terkekeh Pandita Durna menyahut. Maka tampaklah sosok Durna dihadapan keduanya.
Gembira Patih Sangkuni segera merangkul Pandita Durna. Kemudian berganti sang Pandita merangkul anak tunggal kesayangannya, Aswatama.
“Lha Wakne Gondel, sudah dua malam aku mencarimu, ayolah kakang, Sinuwun sudah mengharapkan wakne Gondel untuk meneruskan peran andika sebagai senapati. Sinuwun Prabu Duryudana menyampaikan rasa sesal yang tak terkira. Maklumlah, beliau banyak beban dipunggungnya yang kian berat. Apalagi kematian putra lelaki satu satunya, telah meruntuhkan moral perangnya. Tugas wakne Gondel sekarang adalah, mengangkat kembali moral sinuwun Prabu Duryudana.”
“ Ya aku sanggupi. Hari ini sebelum matahari tenggelam, aku sanggup menyelesaikan perang dengan kemenangan !“. Pendeta Durna menjanjikan.
“ Anakku Aswatama, untukmu aku pesankan, jangan dulu kamu ikut dalam pertempuran ini, pergilah menjauh dari arena. Kalau aku sudah dapat membuktikan kerjaku, pasti sinuwun Duryudana akan mengampuni kesalahan kamu “.
Berita kembalinya Pandita Durna telah memberi bahan bakar semangat baru bagi prajurit Kurawa. Prabu Duryudana gembira mendengar kedatangan kembali agul agul sakti sebagai senapati. Melebihi kegembiraan ketika malam tadi, kakak iparnya, Adipati Karna telah berhasil membunuh Gatutkaca.
Walaupun sang Pendita tidak langsung menghadap, namun kesediaannya kembali mengatur peperangan yang disampaikan oleh pamannya, Sangkuni, telah menjadikannya Duryudana bangkit kepercayaan dirinya lagi.
Perang campuh pun kembali berlangsung siang itu. Telah tersedot habis tenaga dalam peprangan malam kemarin, sisa prajurit Kurawa yang selamat dari kehancuran perang malam telah kembali bertarung mengadu peruntungan siang ini.
Melihat kelelahan yang mendera para prajurit Bulupitu, sang Senapati tidak tega. Maka diambil alihlah kendali peperangan dengan peran utama ada pada tangan Pandita Durna sendiri. Amukan sang Senapati tua, yang kembali dari pengasingan diri kemarin hari, membawa korban sedemikian besar bagi para prajurit Amarta. Senjata Jayangkunang ditangannya dengan ajian laring merak yang membuatnya tidak kasat mata. Mengerikan bagai seberkas api ndaru braja berkobaran ditengah palagan peperangan, menghanguskan siapapun yang berani menghadang gerakannya. Gerakannya yang kadang mematikan nyala kerisnya dan berpindah posisi amukannya membuat lawan kerepotan dalam menentukan dimana arena amukannya akan terjadi.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan bagi prajurit Amarta, Drestajumna segera menghadap Sri Kresna dan Arjuna.
“Dhuh para sekti, kami meminta pertimbangan kepada paduka, apakah yang harus kita lakukan agar dapat menghentikan amukan senapati yang tak terlihat dengan mata para prajurit”.
“Adimas Drestajumna, sudah aku pikirkan sebelum dimas sampai dihadapanku. Aku akan mengutus kakakmu Arjuna, untuk menghentikan jatuhnya korban dari tangan Pandita Durna”. Tenang Prabu Kresna memberikan ketegaran hati kepada sang senapati Pandawa.
“Adikku Arjuna, hanya kamulah yang dapat menghentikan amukan gurumu Resi Kumbayana. Hanya pesanku, jauhkan rasa yang mengatakan itu adalah gurumu yang harusnya kamu hormati dan patuhi semua perkataannya. Ingatlah kata kataku waktu lalu, yang mengatakan, ini adalah perang dimana tidak ada balas budi antara guru dengan muridnya. Yang ada hanyalah perang dimana tempat itu adalah arena untuk meluwar segala janji dan memetik yang kita tanam”. Kresna mengulangi pesan yang pernah ia sampaikan ketika perang baru saja berlangsung. Ketika itu ragu hati Arjuna menyaksikan lawannya adalah para saudara sendiri, paman, eyang, bahkan gurunya sendiri, hingga membuat semangatnya luluh dan ia jatuh terduduk dengan badan yang gemetar.
“Kata kata kanda Prabu akan kami junjung tinggi dan akan hamba laksanakan. Mohon petunjuk kanda Prabu selanjutnya” Mantap Janaka menjawab.
“Baiklah. Sarana untuk melihat keberadaan lawanmu adalah rumput Sulanjana yang kamu miliki sejak lama, pergunakanlah untukmu sendiri dan orang orang yang kamu percayai dalam membantu usahamu, adimas”. Pesan Prabu Kresna mengakhiri pembicaraan.
Maka beranjaklah Arjuna mengatur barisan dan menggunakan sarana agar dapat melihat dimana adanya musuh yang tidak terlihat itu. Sementara Kresna memberi pesan juga, agar mengulur waktu karena dirinya hendak mencari keberadaan Werkudara yang meninggalkan Tegal Kuru tanpa pamit hendak kemana.
Prabu Drupada yang mendapatkan jatah rumput sulanjana segera menghadang gerakan Pandita Durna. Ia merasa masih punya ganjalan dengan teman karibnya dahulu. Setengah memaksa kepada Arjuna dan anaknya Drestajumna, agar ia dapat melayani senapati Bulupitu itu.
Maka ketika sari rumput sulanjana sudah diteteskan pada matanya, Drupada dengan mudahnya mendapati dimana Begawan Durna berada.
“Ooh . . kakang Sucitra, baik aku layani segenap kesaktian yang kamu miliki. Lupakan saat dahulu ketika bersama sama berguru. Lupakan saat kita sudah melewati simpang jalan dan kamu sudah mukti wibawa di Pancalaradya, yang mengakibatkan kamu kurang berkenan, karena aku kurang tata susila ketika aku menemuimu. Peristiwa yang membuat marah adik iparmu Gandamana dan membuat cacat seluruh ragaku. Tapi dalam pertemuan ini, persahabatan kita harus berakhir dalam permusuhan. Salah satu dari kita harus berakhir masa pengabdiannya sebagai tokoh yang membawa kebenaran dalam sudut pandang kita masing masing”.
Maka bersiaplah kedua tokoh tua itu. Serangan demi serangan segera mengalir gencar. Pada mulanya anggauta tubuh sang Drupada yang lebih lengkap ditambah dengan ajiannya Lembu Sekilan mampu mendesak posisi sang Pandita yang hanya bertangan fungsi tunggal. Namun pandita Durna adalah seorang guru yang setiap kali menurunkan ilmunya bukan menjadi berkurang, tetapi malah semakin matang. Sementara Prabu Drupada adalah seorang raja yang walaupun sakti pada masa mudanya, tetapi kehidupan istana yang lebih menjanjikan kemewahan pelayanan membuat ia kurang terasah kemampuan fisiknya.
Maka kembali lelaku pengasahan ilmu yang berkesinambungan-lah yang unggul. Hal ini yang membuat Durna berada diatas angin. Apalagi ketika ada kesempatan terbuka, sang pandita mampu menancapkan senjatanya. Tembus dada sang Sucitra tua hingga kejantungnya.
“Kumbayana, aku mengakui kesaktianmu lebih unggul dariku, dan rasanya sudah dekat ajalku . . . . . “ terpatah kata kata Sucitra yang sudah roboh ditanah yang bersimbah darah. Ia menyampaikan isi hati dihadapan Kumbayana yang masih berdiri mematung. Dengan nafas yang makin satu satu keluar dari mulut yang berlumur darah, Drupada lirih melanjutkan, “namun . . . persahabatan kita hendaknya tidak berhenti . . . . sampai disini. Aku akan sabar menungguimu kembali ke alam kelanggengan bersamamu . . . mudah mudahan waktu tunggu . . . . ini tak akan lama”
Termangu sang Kumbayana ketika melihat teman seperguruan tewas ditangannya. Seketika tersadar ketika sorak sorai membahana mengabarkan tewasnya Prabu Drupada.
Dilain pihak, sesal sang Arjuna melihat mertuanya tewas. Tetapi itu tak lah berguna. Kehendak keras Prabu Drupada yang memintanya agar diberi kesempatan bertarung dengan teman lamanya, ternyata adalah saat ia mengantarkan jiwanya menuju keabadian.
Tak ada pilihan lagi bagi Arjuna-Dananjaya untuk mengatasi runtuhnya moral prajuritnya, karena gugurnya Prabu Drupada. Maka majulah ia kehadapan gurunya.
“Sembah baktiku kami haturkan kehadapan Bapa Guru” Dananjaya mengaturkan sembahnya.
“Ya, aku terima. Betapapun kamu sebagai musuhku, kamu tidak lupa akan suba sita. Inilah yang aku kagumi dari watak para anak Pandu” Durna terkesima dengan apa yang terjadi dihadapannya.
Lanjutnya “Lain dari itu, kesaktian anak Pandawa tidak aku ragukan lagi. Ajian Laring Merak yang aku banggakan tidaklah ada artinya dihadapanmu. Marilah kita mengakhiri cerita masa lalu. Sudah saatnya Baratayuda menentukan, mana pakarti kita sebelumnya yang harus dipanen pada saat ini”.
Sekali lagi Arjuna melakukan sembahnya dan bangkit untuk melakukan kewajiban sebagai seorang prajurit yang tak lagi mengenal status sebagai guru dan murid.
Pertempuran tangan kosong telah dimulai. Arjuna yang masih ada perasaan sedikit segan terhadap gurunya, bertempur dengan setengah hati. Pukulan dan gerak yang dilancarkan tidak dilakukan dengan sepenuh tenaga, maka tak lama kemudian punggungnya terkena sabetan kaki gurunya hingga ia merasa kesakitan. Tersengat rasa Arjuna yang berubah menjadi panas karena rasa sakit yang mendera bagian tubuh yang dikenai oleh Pandita Durna, kali ini ia bersungguh sungguh. Kesempurnaan raga dan timbunan kesaktian yang ditambah dengan tenaga yang lebih baik karena faktor usia, membuat ia mendesak sang Pandita.
Mundur Durna sejenak dan mencipta api berkobar dari senjatanya. Kobaran dahsyat api dari ajian guntur geni melanda medan Kurusetra membuat lari tunggang langgang prajurit Amarta.
Waspada sang Dananjaya, segera mencipta mendung pekat melayang diatas palagan. Seketika hujan deras disertai prahara melanda medan Kuru memadamkan kobaran api. Itulah ajian guntur wersa-prahara dari gurunya sendiri yang disempurnakan oleh Batara Indra. Adu kesaktian pengabaran berlangsung silih berganti. Segala bentuk kesaktian yang diciptakan Pandita Durna berhasil dipunahkan Arjuna, bahkan mendesak balik pertahanan Durna.
Ketika ilmunya dapat dipunahkan, segera Kumbayana melolos keris kecilnya Cis Jayangkunang dan kembali perang tanding senjata keris berlangsung seru. Perimbangan pertempuran berlangsung mengagumkan dengan keris Pulanggeni ditangan Arjuna, hingga banyak prajurit dari kedua pihak berhenti menonton tanding senjata itu.
Kematangan Sang Begawan dalam menggunakan ilmu kesaktiannya menjadikan peperangan berlangsung dengan seimbang. Hingga Kresna kembali dari pencarian terhadap Werkudara yang berhasil membunuh Dursasana, pertempuran masih tetap berlangsung sengit. Maka yang terjadi selanjutnya adalah perang strategi. Bila secara wajar pertempuran akan memakan waktu dan berlarut larut, maka segera ia menyusun strategi.
“Werkudara, ketahuilah, bahwa gurumu itu dalam bertempur mempunyai tujuan tertentu”.
“Apa maksudmu ? Werkudara menukas.
“Nanti dulu, aku akan menunjukkan kepadamu sesuatu. Ingatlah, beberapa hari ini gurumu meninggalkan peperangan karena sakit hati atas ketidak percayaan Duryudana kepada anak bapak Sokalima. Misi dari gurumu sekarang, tidak lain adalah mengembalikan harga dirinya dan sekaligus mengembalikan kepercayaan junjungannya kepada anak tercintanya, Aswatama. Semua yang ia lakukan adalah bermuara kepada kemukten bagi anak yang dicintainya itu”. Sejenak Kresna diam dan menyelidik, apakah kata katanya dimengerti oleh adik sepupunya itu.
Yang dipandanginya mengangguk setengah mengerti. “Teruskan dongengmu, biar aku tidak setengah setengah menelan omonganmu”
“Kamu lihat siapa yang menaiki gajah dan berperan sebagai senapati pendamping ?” Kresna bertanya, namun kembali ia meneruskan “Itu adalah raja dari negara Malawapati, Prabu Permeya”.
“Terus apa hubungannya dengan reka dayamu ?” Kembali Bima memotong.
“Gajah yang dinaiki itu bernama Hestitama, bunuh prabu Permeya dengan gajahnya sekalian, kemudian kabarkan pada semua prajurit agar mereka mengatakan Aswatama telah tewas !”
Melompat Werkudara dengan menimang gada Rujakpolo. Dihampiri Permeya yang duduk pongah diatas gajahnya. Terkejut Permeya ketika dihadapannya telah berdiri dengan teguh sosok Werkudara. Terkesiap darahnya ketika melihat gada ditangan Bima-Werkudara berputar mengancam dirinya. Tak pelak lagi mentalnya jatuh. Memang demikian, kesaktian Permeya memang tak sebanding dengan Werkudara. Maka disertai mental yang telah runtuh, tak sulit Werkudara menebas keduanya, Permeya beserta tunggangannya, gajah Estitama. Tanpa bisa mengaduh, keduanya tewas dengan isi kepala terburai.
Seperti direncanakan oleh Sri Kresna, geger para prajurit meneriakkan Aswatama telah tewas. Dan berita itu tak lama kemudian sampai ditelinga Begawan Durna.
(bersambung)
Gabung di FP kami yuk : http://facebook.com/caritawayang
0 comments:
Post a Comment