Tak diceritakan bagaimana suasana ketika Adipati Karna bertemu dengan istri tercintanya, Surtikanti. Yang terjadi kemudian adalah waktu pagi yang terik, dimana pertempuran sengit berkecamuk kembali di padang Kurukasetra yang sudah berhari hari menjadi panggung ajang drama pertempuran yang mengerikan. Sisa sisa tenaga prajurit yang kini mulai jenuh dan lelah, hanya punya pilihan, segera perang selesai. Entah dirinya yang menjadi korban atau ia membunuh lawan lawannya dengan cepat.
Hawa panas menjelang penghujan menyengat menguatkan bau anyir darah dan busuk bangkai manusia dan hewan tunggangan para adipati serta segenap pembesar perang yang tak lagi sempat dirawat oleh sesama prajurit. Berserakan senjata yang bergeletakan mencuat diantara reruntuhan kereta perang, sungguh membuat meremang bulu kuduk orang orang yang bermental lemah. Belum lagi erangan para prajurit terluka menahan rasa sakit yang tak terkira, tetapi tidak kunjung ajal menjemput. Suara rintihan itu bagai nyanyian peri prayangan. Sementara burung gagak pemakan bangkai berputar kekitar diangkasa yang biru dengan gumpalan awan disana sini, menanti kapan waktunya untuk kembali berpesta pora.
Di salah satu sisi medan pertempuran, terdengar pembicaraan dua orang prajurit yang sama sama terluka, entah kepada sesama teman atau lawan. Yang mengalami luka serius menyandar pada pokok pohon kering, sementara lawan bicaranya tadi tertelungkup dengan sesekali terbatuk memuntahkan darah segar dari mulutnya.
“Sesungguhnya apakah yang kita dapat dari peperangan yang kita jalani, kisanak?
“Inilah yang kita dapat! Kebinasaan! Hukum alam telah menuliskan, keseimbangan alam telah mengharuskan manusia melakukan kekerasan, saling baku bunuh untuk kembali ke keseimbangan baru, baik itu melewati perang seperti ini, bencana alam, atau manusia dengan sadar mengerem lajunya jumlah turun. Kita ini sedang ada didalam bagian dari putaran proses itu, kisanak”.
Keduanya berbincang diantara desing anak panah dan denting senjata serta gelegarnya meriam dengan sesekali berhenti menahan rasa sakit, suara pembicaraan keduanya kadang tertelan oleh kemeretak roda kereta dan derap ladam kuda yang melintas disekitar mereka. Sementara kepulan debu dan asap sendawa mengepul menyesakkan nafas.
***
Diceriterakan, adalah Raden Sanjaya. Yang merasa tertantang setelah bertemu dengan Wara Srikandhi dan menyatakan hendak memberi sesumbang jiwa raga terhadap para Pandawa. Akan tetapi niat baik Randen Sanjaya telah dianggap sebagai manusia yang bersifat oportunis.
“Sanjaya, kalau kamu hendak membela para Pandawa, kenapa tidak dari semula, kenapa baru sekarang ketika Kurawa sudah lemah, ketika kamu sudah merasa, tak akan para Kurawa menang atas Pandawa. Apakah itu jiwa dan watak seorang prajurit?. Apakah itu bukan manusia yang bertujuan untuk mencari kemuliaan dan kesenangan belaka?. Apakah sekiranya bila kamu tidak bergabung dengan para Pandawa, Pandawa tidak akan menang? Malah aku kira, permintaan bergabungnya kamu dengan para Pandawa adalah sebagai mata mata. Kenapa aku sebut begitu, karana sejak lahir, kamu adalah warga Panggombakan yang ada dalam wilayah Astina !”.
Tersentuh rasa panas hati Sanjaya yang dituding mencari kemuliaan atas kemenangan Pandawa, maka ia bersumpah akan menandingi kesaktian Adipati Karna. Berangkat ke medan perang Sanjaya dengan hati terluka oleh tuduhan yang tidak beralasan dari Wara Srikandi. Andai saja Sumbadra tidak terlambat dalam mencegah keberangkatan Sajaya yang sudah melangkah ke medan Kuru, maka mungkin kejadiannya akan berbeda. Memang Wara Sumbadra tahu, betapa ayah dari Senjaya, Raden Yamawidura, adalah seorang yang berjasa sangat besar pada Pandawa. Ketika terjadi peristiwa bale Sigala-gala, orang tua Sanjaya telah membaui hal yang mencurigakan ketika pesta itu diadakan oleh usul Sengkuni. Ketika itu Raden Yamawidura menyelamatkan para Pandawa dari api yang membakar pesanggrahan mereka, ketika mereka terbius tidur oleh para Kurawa. Kemudian mereka membakar habis seluruh pesanggrahan.
Yamawidura yang menjelma menjadi garangan putih, telah membuat lubang bawah tanah menembus sapta pratala dan menyelamatkan kemenakannya. Kemenakan yang selalu terlihat benar dimatanya, tetapi karena sesuatu hal ia harus sembunyi sembunyi menyelamatkannya. Hal itulah yang dikatakan Wara Sumbadra kepada Wara Srikandi, yang kemudian telah membuat sesal dihati Srikandi.
Namun rasa bersalah Wara Srikandi ketika mendengar keterangan dari Sumbadra, menjadi tidak berarti, ketika putra Yamawidura itu telah melangkah ke palagan.
Maka didalam peperangan Kurusetra itu, Sanjaya mencari sosok Adipati Karna. Ia hendak memperlihatkan kesungguhannya dalam menyatakan diri ada di pihak Pandawa. Ia berteriak lantang menantang Adipati Karna.
Ketika putra Awangga kedua yaitu Raden Wersasena mengetahui ayahnya ditantang oleh Raden Sanjaya, kemarahan anak muda itu terbangkit. Dihampirinya Sanjaya, ia tidak rela bila ayahnya ditantang oleh sesama anak muda lain.
“Heh Sanjaya! Sejak kapan kamu telah memberontak terhadap negara yang telah menghidupimu, yang telah memberi kumuliaan terhadap orang tuamu dan keluargamu?”.
“Sejak dulu memang aku lebih bersimpati terhadap putra uwa’ Pandu Dewanata. Sekaranglah aku hendak memperlihatkan betapa aku telah merasa salah, membiarkan saudara tuaku para Padawa ada dalam kesengsaraan yang berlarut larut. Sekarang katakan, dimana senapati Kurawa berada?”
“Tak usah kamu mencari dimana senapati itu, hadapi dulu putra Awangga sebagai putra senapati. Langkahi dulu mayatku sebelum kamu bisa berhadapan dengan ayahku!”.
“Baik, akan aku turuti kata katamu. Waspadalah!”
Pertempuran dua anak muda itu berlangsung sengit. Kelihatan mereka mencoba mengerahkan segenap kesaktiannya, untuk menentukan siapa salah satunya yang harus tewas ditangan masing masing.
Semakin lama semakin tegas terlihat, bahwa Sanjaya lebih unggul daripada Warsasena. Ketika sampai di puncak kemampuannya, Sanjaya menyudahi perlawanan Warsasena dengan menewaskannya. Kemarahan Adipati Karna tidak terbendung ketika mendengar anak lelakinya yang tinggal satu telah tewas.
Sorak sorai bala tentara telah mengatakan akhir dari pertempuran kedua anak muda itu. Segera Adipati Karna mendekati Sanjaya untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Pertempuran kembali terjadi. Tetapi kesaktian Sanjaya ternyata tidaklah imbang dihadapan Adipati Karna. Sekarang berganti, terdesak Sanjaya, dan tak lama kemudian keris Kyai Jalak mengakhiri hidup Raden Sanjaya. Ia gugur dalam usahanya membuktikan darma baktinya terhadap saudara saudara sepupunya para Pandawa.
Diceriterakan, telah tiba saat kedua satria pilihan dari kedua pihak akan bertemu dalam pertempuran atas nama darma satria. Ketika telah terdengar aba-aba bahwa Senapati dari Pihak Wirata telah siap siaga, maka segera Adipati Karna meloncat menaiki kereta perangnya. Tetapi oleh suasana hati Prabu Salya yang masih tetap panas, ada saja masalah kecil yang menjadikannya tidak berkenan. Ketika melihat menantunya telah menaiki kereta, dan ia masih ada dibawah, kemarahannya kembali meledak. “Apakah kamu bukan manusia yang mengerti tata bagaimana menghormati orang tua, keparat! Orang tua masih dibawah, kamu sudah duduk nangkring diatas kereta!”.
Namun Adipati Karna mencoba membela diri, serba salah telah mendera hatinya dari waktu ke waktu “Mohon seribu maaf rama Prabu, maksud hamba dari semula, adalah hanya menetapi darma. Disini derajat kusir ada dibawah senapati”.
“Sudah tak terhitung berapa kali rasa sakit yang pernah melukai hatiku karena kelakuanmu. Sewaktu Prabu Kresna menjadi duta di awal perang kemarin, kamu sudah melukai hatiku dalam pasamuan agung. Belum sembuh luka itu, sekarang kamu melakukan hal yang sama, aku kamu jadikan seorang kusir. Kalau tidak sungkan dengan anak Prabu Duryudana, aku tidak sudi melihat mukamu yang membuat aku muak. Dan kamu tidak berwenang untuk memerintah aku!”. Kejengkelan Prabu Salya tidak juga reda.
“Rama, sekali lagi putra paduka mohon maaf, kami persilahkan rama Prabu untuk menaiki kereta. Ketahuilah rama, sudah ada tanda tanda dalam diri putramu, detak jantung didada ini mengisyaratkan kematian putramu sudah menjelang. Kami persilakan rama Prabu untuk mengantarkan kematianku, rama Prabu . . . . ”. Campur aduk perasaan kedua manusia menantu dan mertua itu mengawali langkahnya menuju ke palagan peperangan. Inilah titik dimana perasaan yang tidak sepenuhnya bulat telah melemahkan moral perang senapati Kurawa.
Baru saja kereta bergerak, mendadak melayang bagai awan hitam bergulung diatas palagan. Itulah Naga Raja Guwa Barong, Prabu Hardawalika. Seekor naga yang mengincar kematian Arjuna. Adipati Karna yang melihat keanehan naga mengarah ketempat ia bersiap, segera menghentikan laju geraknya dan menanyakan maksudnya “Heh kamu mahluk yang mencurigakan, siapa kamu dan apa maksudmu membuat keruh suasana peperangan!”.
“Aku penjelmaan raja raksasa dari Guwa Barong. Aku bermaksud hendak membantu kamu menandingi Arjuna”. Naga raksasa itu dengan tidak ragu mengatakan maksudnya.
Tetapi sungguh tidak disangka, jawaban yang diterima adalah bentakan yang menyuruhnya ia pergi. “ Heh naga mrayang, Arjuna adalah saudaraku. Kalaupun aku berselisih sehari tujuh kalipun, tak akan pecah persaudaraanku. Menyingkirlah atau akan aku percepat sempurnanya kematianmu!”.
“Haaah . . perbuatan yang sia sia. Ternyata aku mengatakan hal ini kepada tempat mengadu yang salah. Tetapi hal ini tidak akan menghalangiku untuk membalas kematianku moyangku”. Melayang kembali Hardawalika kearah berlainan untuk mencari keberadaan Arjuna.
Kresna yang tidak pernah terhalangi kewaspadaanya sedikitpun, segera tahu apa yang ada dihadapannya, ketika awan mendung tiba tiba membayang diatasnya.
“Arjuna, diatas pertempuran itu ada seekor naga penjelmaan Prabu Hardawalika. Lepaskan panahmu, sempurnakan kematian Prabu Hardawalika”.
Tidak lagi membuang waktu, segera dipentangnya busur yang telah diisi anak panah. Melesat anak panah menempuh bayangan naga, sirna seketika ujud dari naga Hardawalika yang kembali membuat suasana palagan menjadi terang.
Syahdan, kedua Senapati dari kedua belah pihak telah sama sama bergerak mendekat. Maka suasana palagan peperangan menjadi gaduh, kemudian setelah jarak keduanya menjadi semakin dekat kejadiannya justru menjadi terbalik. Peperangan segera terhenti bagai dikomando. Suasana yang berkembang menjadikannya Arjuna termangu. Prabu Kresna yang melihat suasana hati Arjuna segera dapat menebak apa yang dipikirkannya.
“Arjuna, tatalah rasa hatimu! Hari ini sudah sampai waktumu harus meladeni tanding dengan kakakmu, Adipati Karna”.
“Kanda, bagaimankah hamba dapat melayani tanding yuda dengan kanda Adipati Karna. Suasana beginilah yang selalu mengingatkan akan Ibu Kunti” keluh Arjuna.
Kresna telah tahu apa yang melatar belakangi maksud dari keberpihakan Karna terhadap Kurawa. Hal itu telah ia dengar sendiri tatkala ia bertemu dengannya empat mata, ketika ia telah usai menjadi duta terakhir sebelum pecah perang. Semuanya bagi Kresna sudah tidak ada hal yang meragukan. Namun ia tidak mengatakan apapun tentang itu terhadap Arjuna.
“Adikku, hari ini pejamkan matamu, tutuplah telingamu. Kamu hanya wajib mengingat satu hal, darma seorang satria yang harus mengenyahkan kemurkaan. Walaupun saudaramu itu adalah salah satu saudara tuamu, tetapi ia tetaplah ada pada golongan musuh. Dan ketahuilah, bahwa majunya kakakmu Adipati Karna itu, tidak seorangpun yang ditunggu, kecuali dirimu. Dan tidak ada seorangpun di dunia ini yang diwajibkan untuk mengantarkan kematiannya, kecuali dirimu.
Mari aku dandani kamu sebagaimana layaknya seorang senapati, dan akulah yang akan menjadi kusirmu”. Selesai berdandan busana Keprajuritan, segera mereka menaiki kereta Prabu Kresna, kereta Jaladara. Kereta perang dengan empat ekor kuda yang berasal dari empat benua yang berwarna berbeda setiap ekornya, merupakan hadiah Para Dewa. Bila dibandingkan dengan kereta Jatisura milik Adipati Karna yang telah remuk dilanda tubuh Gatutkaca, kesaktian kereta Jaladara bisa berkali kali lipat kekuatannya.
Suasana berkembang makin hening, diangkasa telah turun para dewata dengan segenap para durandara dan para bidadari. Mereka hendak menyaksikan peristiwa besar yang terjadi dipadang Kuru. Sebaran bunga bunga mewangi turun satu satu bagai kupu kupu yang beterbangan.
Karna yang melihat kedatangan Arjuna berhasrat untuk turun dari keretanya. Kresna yang melihat keraguan memancar dari wajah Arjuna mengisyaratkan untuk menyambut kedatangannya. Berkata ia kepada Arjuna
“Lihat! Kakakmu Adipati Karna sudah turun dari kereta perangnya, segera sambut dan ciumlah kakinya”.
Arjuna segera turun berjalan mendapatkan kakak tertua tunggal wadah dengannya
“Baktiku kanda Adipati”, Arjuna duduk bersimpuh dihadapan Adipati Karna setelah menghaturkan sembahnya.
“Arjuna, seumpama aku seorang anak kecil, pastilah aku sudah menagis meraung raung. Tetapi beginilah orang yang menjalani kewajiban. Aku bela bela diriku membutakan mata menutup rasa hati untuk mencapai kamukten. Sekarang aku sudah mendapatkannya dari Dinda Prabu Duryudana. Dan sekarang aku harus berhadapan dan tega berkelahi sesama saudara sekandung!”. Karna menumpahkan isi hatinya.
“Kanda Adipati, hamba disini memakai busana senapati bukan untuk menandingi paduka kanda Prabu. Tetapi membawa pesan dari ibu kita, Kunti, untuk kembali berkumpul bersama saudara paduka Para Pandawa. Air mawar bening pembasuh kaki sudah disiapkan oleh adik adik paduka, Kanda Adipati”. Arjuna mencoba meluluhkan hati kakak tunggal ibu itu.
Kembali Adipati Karna menegaskan apa yang terrasa didalam hatinya. “ Lihat, air mataku jatuh berlinangan. Tetapi aku katakan, tidak tepat apa yang kamu katakan. Sudah berulang kali kamu memintaku untuk berkumpul bersama sama dengan saudaraku Pandawa. Begitu juga dengan Kanda Prabu Kresna, yang ketika itu datang kepadaku dan bicara empat mata. Sekarang sama halnya dengan dirimu, yang juga kembali mengajakku untuk berkumpul bersama. Bila aku menuruti permintaanmu, hidupku akan seperti halnya burung yang ada dalam sangkar emas. Tetapi hidupku tidak bisa bebas. Hidupku hanya kamu beri makan dan minum belaka. Apakah kamu senang bila mempunyai saudara dengan keadaan seperti yang aku katakan?”.
Sejenak mereka berdua saling berdiam diri. Sesaat kemudian Karna melanjutkan.”Tak ada seorangpun didunia ini yang dapat mengantarkan aku menuju alam kematianku, kecuali hanyalah dirimu, dinda Arjuna! Dan bila aku nanti mati dalam perang tanding itu, sampaikan baktiku pada ibunda Kunti, yang tak sekalipun aku memberi ketentraman batin dalam hidupnya . . . “
Serak terpatah patah suara Adipati Karna ketika ia melanjutkan curahan isi hati terhadap Arjuna.
Kembali susana menjadi hening. Akan tetapi tiba tiba ia berkata dengan nada tegas. “Hari ini adalah hari yang baik. Ayolah kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih perwira, lebih bertenaga, lebih sakti!”.
“Kanda, berikan kepadaku seribu maaf atas kelancangan hamba berani dengan saudara yang lebih tua”. Kembali Arjuna menghaturkan sembah, berkata ia, yang kemudian mengundurkan diri kembali menaiki kereta Jaladara.
Maka perang tanding dengan andalan ketepatan menggunakan anak panah berlangsung dengan seru. Keduanya sesama putra Kunti tidak sedikitpun berbeda ujudnya dalam busana keprajuritan. Keduanya menggunakan topong yang sama, sehingga banyak prajurit yang sedari tadi berhenti menonton sulit untuk membedakan yang mana Arjuna dan manakah yang Karna, kecuali pada kereta yang dinaikinya.
Pada suatu ketika topong kepala Adipati Karna terpental terkena panah Arjuna. Sejenak Karna meminta Prabu Salya untuk berhenti, dan berkata.
“Rama prabu, hampir saja hamba menanggung malu. Topong kepala hamba terpental oleh panah adi Arjuna”.
“Sudah aku katakan, tak hendak aku ikut campur dalam peristiwa ini. Aku hanya kusirmu. Tapi kali ini mari aku benahi rambutmu biar aku gelung”. Setengah hati Prabu Salya mendandani kembali putra menantunya.
Kembali adu ketangkasan olah warastra berlangsung. Kali ini Kunta Wijayandanu ada ditangan Karna. Waspada Prabu Salya dengan melihat senjata kedua setelah Kunta Druwasa yang telah sirna digunakan oleh Adipati Karna ketika berhadapan dengan Gatutkaca. Maka pada saat menantunya itu melepas anak panah, kendali kereta ditarik, kemudian kuda melonjak. Panah yang sejatinya akan tepat mengenai sasaran, hanya mengenai topong kepala Arjuna dan mencabik segenggam rambutnya.
“Aduh Kanda Prabu, topong hamba jatuh terkena panah kanda Adipati. Apakah ini sebagai perlambang kekalahan yang akan menimpa hamba?”. Arjuna menanyakan.
“Bukan ! Itu peristiwa biasa. Biarlah aku tambal rambutmu dengan rambutku. Sekarang aku akan menggelung rambutmu kembali”. Jawab Kresna, yang kemudian menerapkan kembali gelung rambut baru pada kepala Arjuna.
Kembali kedua putra Kunti berdandan dengan cara yang sama. Semakin bingung para yang melihat pertempuran dua satria yang hampir kembar itu. Bahkan para dewata dan segenap bidadari dan durandara, melihatnya dengan terkagum.
Adu kesaktian telah berlangsung lama, segala macam kagunan dan ilmu pengabaran telah dikeluarkan. Saling mengimbangi dan saling memunahkan kawijayan antara kesaktian mereka berdua.
Namun Arjuna masih memegang satu senjata yang belum digunakan. Itulah panah Kyai Pasupati, yang bertajam dengan bentuk bulan sabit.
“Arjuna !”, Kresna memberikan isyarat, “Sekaranglah saatnya!. Hanya sampai disini hidup kakakmu Adipati. Segera lepaskan senjatamu Pasupati untuk mengantarkan kakakmu ke alam kelanggengan!”.
Panah Pasupati telah tersandang pada busur gading Kyai Gandewa, lepas anak panah berdesing bagai tak terlihat. Walau Arjuna melepaskannya sambil memejamkan mata karena tak tega dan rasa bersalah, namun panah dengan bagian tajam yang menyerupai bulan sabit itu mengenai leher Adipati Karna.
Tajamnya Kyai Pasupati tiada tara, sampai-sampai, kepala Adipati Karna dengan senyum yang masih tersungging dibibirnya tak bergeser sedikitpun dari lehernya. Jatuh terduduk jasad Adipati Karna bersandarkan kursi kereta. Geragapan Prabu Salya yang merasa khawatir dan setengah bersalah. Turun dari kereta ia, kemudian menghilang dari pabaratan, kembali ke Bulupitu.
Namun kejadian sejak dari awal pertempuran tadi, tidak terlepas dari sepasang mata yang selalu mengawasi setiap gerakan sekecil apapun yang dilakukan Prabu Salya. Itulah sepasang mata Aswatama!
(Bersambung)
Banyak sekali versi tentang cerita Karna Tanding.
Petikan dan suntingan dari pagelaran demi pagelaran wayang purwa diatas,
adalah salah satunya yang terpilih untuk diketengahkan.
dalam versi lain, saat tanding lawan arjuna, kereta perang Karna teperosok ke dalam lumpur. sesuai dengan kutukan dari guru Karna yaitu Ramaparasu atau Ramabargawa. Pada saat membetulkan roda ketera yg terperosok itulah, Kresna memerintahkan Arjuna membidik Karna. Gugurlah Karna dengan kepala terpenggal panah Arjuna.
Syahdan,, Karna menyamar sebagai seorang brahmana agar dapat diterima menjadi murid Ramaparasu, karena Ramaparasu tidak mau menerima murid dari golongan ksatria. Pada suatu saat terbongkarlah kebohongan Karna.
Merasa ditipu dan dikhianati, keluarlah kutukan dari sang guru.
Hawa panas menjelang penghujan menyengat menguatkan bau anyir darah dan busuk bangkai manusia dan hewan tunggangan para adipati serta segenap pembesar perang yang tak lagi sempat dirawat oleh sesama prajurit. Berserakan senjata yang bergeletakan mencuat diantara reruntuhan kereta perang, sungguh membuat meremang bulu kuduk orang orang yang bermental lemah. Belum lagi erangan para prajurit terluka menahan rasa sakit yang tak terkira, tetapi tidak kunjung ajal menjemput. Suara rintihan itu bagai nyanyian peri prayangan. Sementara burung gagak pemakan bangkai berputar kekitar diangkasa yang biru dengan gumpalan awan disana sini, menanti kapan waktunya untuk kembali berpesta pora.
Di salah satu sisi medan pertempuran, terdengar pembicaraan dua orang prajurit yang sama sama terluka, entah kepada sesama teman atau lawan. Yang mengalami luka serius menyandar pada pokok pohon kering, sementara lawan bicaranya tadi tertelungkup dengan sesekali terbatuk memuntahkan darah segar dari mulutnya.
“Sesungguhnya apakah yang kita dapat dari peperangan yang kita jalani, kisanak?
“Inilah yang kita dapat! Kebinasaan! Hukum alam telah menuliskan, keseimbangan alam telah mengharuskan manusia melakukan kekerasan, saling baku bunuh untuk kembali ke keseimbangan baru, baik itu melewati perang seperti ini, bencana alam, atau manusia dengan sadar mengerem lajunya jumlah turun. Kita ini sedang ada didalam bagian dari putaran proses itu, kisanak”.
Keduanya berbincang diantara desing anak panah dan denting senjata serta gelegarnya meriam dengan sesekali berhenti menahan rasa sakit, suara pembicaraan keduanya kadang tertelan oleh kemeretak roda kereta dan derap ladam kuda yang melintas disekitar mereka. Sementara kepulan debu dan asap sendawa mengepul menyesakkan nafas.
***
Diceriterakan, adalah Raden Sanjaya. Yang merasa tertantang setelah bertemu dengan Wara Srikandhi dan menyatakan hendak memberi sesumbang jiwa raga terhadap para Pandawa. Akan tetapi niat baik Randen Sanjaya telah dianggap sebagai manusia yang bersifat oportunis.
“Sanjaya, kalau kamu hendak membela para Pandawa, kenapa tidak dari semula, kenapa baru sekarang ketika Kurawa sudah lemah, ketika kamu sudah merasa, tak akan para Kurawa menang atas Pandawa. Apakah itu jiwa dan watak seorang prajurit?. Apakah itu bukan manusia yang bertujuan untuk mencari kemuliaan dan kesenangan belaka?. Apakah sekiranya bila kamu tidak bergabung dengan para Pandawa, Pandawa tidak akan menang? Malah aku kira, permintaan bergabungnya kamu dengan para Pandawa adalah sebagai mata mata. Kenapa aku sebut begitu, karana sejak lahir, kamu adalah warga Panggombakan yang ada dalam wilayah Astina !”.
Tersentuh rasa panas hati Sanjaya yang dituding mencari kemuliaan atas kemenangan Pandawa, maka ia bersumpah akan menandingi kesaktian Adipati Karna. Berangkat ke medan perang Sanjaya dengan hati terluka oleh tuduhan yang tidak beralasan dari Wara Srikandi. Andai saja Sumbadra tidak terlambat dalam mencegah keberangkatan Sajaya yang sudah melangkah ke medan Kuru, maka mungkin kejadiannya akan berbeda. Memang Wara Sumbadra tahu, betapa ayah dari Senjaya, Raden Yamawidura, adalah seorang yang berjasa sangat besar pada Pandawa. Ketika terjadi peristiwa bale Sigala-gala, orang tua Sanjaya telah membaui hal yang mencurigakan ketika pesta itu diadakan oleh usul Sengkuni. Ketika itu Raden Yamawidura menyelamatkan para Pandawa dari api yang membakar pesanggrahan mereka, ketika mereka terbius tidur oleh para Kurawa. Kemudian mereka membakar habis seluruh pesanggrahan.
Yamawidura yang menjelma menjadi garangan putih, telah membuat lubang bawah tanah menembus sapta pratala dan menyelamatkan kemenakannya. Kemenakan yang selalu terlihat benar dimatanya, tetapi karena sesuatu hal ia harus sembunyi sembunyi menyelamatkannya. Hal itulah yang dikatakan Wara Sumbadra kepada Wara Srikandi, yang kemudian telah membuat sesal dihati Srikandi.
Namun rasa bersalah Wara Srikandi ketika mendengar keterangan dari Sumbadra, menjadi tidak berarti, ketika putra Yamawidura itu telah melangkah ke palagan.
Maka didalam peperangan Kurusetra itu, Sanjaya mencari sosok Adipati Karna. Ia hendak memperlihatkan kesungguhannya dalam menyatakan diri ada di pihak Pandawa. Ia berteriak lantang menantang Adipati Karna.
Ketika putra Awangga kedua yaitu Raden Wersasena mengetahui ayahnya ditantang oleh Raden Sanjaya, kemarahan anak muda itu terbangkit. Dihampirinya Sanjaya, ia tidak rela bila ayahnya ditantang oleh sesama anak muda lain.
“Heh Sanjaya! Sejak kapan kamu telah memberontak terhadap negara yang telah menghidupimu, yang telah memberi kumuliaan terhadap orang tuamu dan keluargamu?”.
“Sejak dulu memang aku lebih bersimpati terhadap putra uwa’ Pandu Dewanata. Sekaranglah aku hendak memperlihatkan betapa aku telah merasa salah, membiarkan saudara tuaku para Padawa ada dalam kesengsaraan yang berlarut larut. Sekarang katakan, dimana senapati Kurawa berada?”
“Tak usah kamu mencari dimana senapati itu, hadapi dulu putra Awangga sebagai putra senapati. Langkahi dulu mayatku sebelum kamu bisa berhadapan dengan ayahku!”.
“Baik, akan aku turuti kata katamu. Waspadalah!”
Pertempuran dua anak muda itu berlangsung sengit. Kelihatan mereka mencoba mengerahkan segenap kesaktiannya, untuk menentukan siapa salah satunya yang harus tewas ditangan masing masing.
Semakin lama semakin tegas terlihat, bahwa Sanjaya lebih unggul daripada Warsasena. Ketika sampai di puncak kemampuannya, Sanjaya menyudahi perlawanan Warsasena dengan menewaskannya. Kemarahan Adipati Karna tidak terbendung ketika mendengar anak lelakinya yang tinggal satu telah tewas.
Sorak sorai bala tentara telah mengatakan akhir dari pertempuran kedua anak muda itu. Segera Adipati Karna mendekati Sanjaya untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Pertempuran kembali terjadi. Tetapi kesaktian Sanjaya ternyata tidaklah imbang dihadapan Adipati Karna. Sekarang berganti, terdesak Sanjaya, dan tak lama kemudian keris Kyai Jalak mengakhiri hidup Raden Sanjaya. Ia gugur dalam usahanya membuktikan darma baktinya terhadap saudara saudara sepupunya para Pandawa.
Diceriterakan, telah tiba saat kedua satria pilihan dari kedua pihak akan bertemu dalam pertempuran atas nama darma satria. Ketika telah terdengar aba-aba bahwa Senapati dari Pihak Wirata telah siap siaga, maka segera Adipati Karna meloncat menaiki kereta perangnya. Tetapi oleh suasana hati Prabu Salya yang masih tetap panas, ada saja masalah kecil yang menjadikannya tidak berkenan. Ketika melihat menantunya telah menaiki kereta, dan ia masih ada dibawah, kemarahannya kembali meledak. “Apakah kamu bukan manusia yang mengerti tata bagaimana menghormati orang tua, keparat! Orang tua masih dibawah, kamu sudah duduk nangkring diatas kereta!”.
Namun Adipati Karna mencoba membela diri, serba salah telah mendera hatinya dari waktu ke waktu “Mohon seribu maaf rama Prabu, maksud hamba dari semula, adalah hanya menetapi darma. Disini derajat kusir ada dibawah senapati”.
“Sudah tak terhitung berapa kali rasa sakit yang pernah melukai hatiku karena kelakuanmu. Sewaktu Prabu Kresna menjadi duta di awal perang kemarin, kamu sudah melukai hatiku dalam pasamuan agung. Belum sembuh luka itu, sekarang kamu melakukan hal yang sama, aku kamu jadikan seorang kusir. Kalau tidak sungkan dengan anak Prabu Duryudana, aku tidak sudi melihat mukamu yang membuat aku muak. Dan kamu tidak berwenang untuk memerintah aku!”. Kejengkelan Prabu Salya tidak juga reda.
“Rama, sekali lagi putra paduka mohon maaf, kami persilahkan rama Prabu untuk menaiki kereta. Ketahuilah rama, sudah ada tanda tanda dalam diri putramu, detak jantung didada ini mengisyaratkan kematian putramu sudah menjelang. Kami persilakan rama Prabu untuk mengantarkan kematianku, rama Prabu . . . . ”. Campur aduk perasaan kedua manusia menantu dan mertua itu mengawali langkahnya menuju ke palagan peperangan. Inilah titik dimana perasaan yang tidak sepenuhnya bulat telah melemahkan moral perang senapati Kurawa.
Baru saja kereta bergerak, mendadak melayang bagai awan hitam bergulung diatas palagan. Itulah Naga Raja Guwa Barong, Prabu Hardawalika. Seekor naga yang mengincar kematian Arjuna. Adipati Karna yang melihat keanehan naga mengarah ketempat ia bersiap, segera menghentikan laju geraknya dan menanyakan maksudnya “Heh kamu mahluk yang mencurigakan, siapa kamu dan apa maksudmu membuat keruh suasana peperangan!”.
“Aku penjelmaan raja raksasa dari Guwa Barong. Aku bermaksud hendak membantu kamu menandingi Arjuna”. Naga raksasa itu dengan tidak ragu mengatakan maksudnya.
Tetapi sungguh tidak disangka, jawaban yang diterima adalah bentakan yang menyuruhnya ia pergi. “ Heh naga mrayang, Arjuna adalah saudaraku. Kalaupun aku berselisih sehari tujuh kalipun, tak akan pecah persaudaraanku. Menyingkirlah atau akan aku percepat sempurnanya kematianmu!”.
“Haaah . . perbuatan yang sia sia. Ternyata aku mengatakan hal ini kepada tempat mengadu yang salah. Tetapi hal ini tidak akan menghalangiku untuk membalas kematianku moyangku”. Melayang kembali Hardawalika kearah berlainan untuk mencari keberadaan Arjuna.
Kresna yang tidak pernah terhalangi kewaspadaanya sedikitpun, segera tahu apa yang ada dihadapannya, ketika awan mendung tiba tiba membayang diatasnya.
“Arjuna, diatas pertempuran itu ada seekor naga penjelmaan Prabu Hardawalika. Lepaskan panahmu, sempurnakan kematian Prabu Hardawalika”.
Tidak lagi membuang waktu, segera dipentangnya busur yang telah diisi anak panah. Melesat anak panah menempuh bayangan naga, sirna seketika ujud dari naga Hardawalika yang kembali membuat suasana palagan menjadi terang.
Syahdan, kedua Senapati dari kedua belah pihak telah sama sama bergerak mendekat. Maka suasana palagan peperangan menjadi gaduh, kemudian setelah jarak keduanya menjadi semakin dekat kejadiannya justru menjadi terbalik. Peperangan segera terhenti bagai dikomando. Suasana yang berkembang menjadikannya Arjuna termangu. Prabu Kresna yang melihat suasana hati Arjuna segera dapat menebak apa yang dipikirkannya.
“Arjuna, tatalah rasa hatimu! Hari ini sudah sampai waktumu harus meladeni tanding dengan kakakmu, Adipati Karna”.
“Kanda, bagaimankah hamba dapat melayani tanding yuda dengan kanda Adipati Karna. Suasana beginilah yang selalu mengingatkan akan Ibu Kunti” keluh Arjuna.
Kresna telah tahu apa yang melatar belakangi maksud dari keberpihakan Karna terhadap Kurawa. Hal itu telah ia dengar sendiri tatkala ia bertemu dengannya empat mata, ketika ia telah usai menjadi duta terakhir sebelum pecah perang. Semuanya bagi Kresna sudah tidak ada hal yang meragukan. Namun ia tidak mengatakan apapun tentang itu terhadap Arjuna.
“Adikku, hari ini pejamkan matamu, tutuplah telingamu. Kamu hanya wajib mengingat satu hal, darma seorang satria yang harus mengenyahkan kemurkaan. Walaupun saudaramu itu adalah salah satu saudara tuamu, tetapi ia tetaplah ada pada golongan musuh. Dan ketahuilah, bahwa majunya kakakmu Adipati Karna itu, tidak seorangpun yang ditunggu, kecuali dirimu. Dan tidak ada seorangpun di dunia ini yang diwajibkan untuk mengantarkan kematiannya, kecuali dirimu.
Mari aku dandani kamu sebagaimana layaknya seorang senapati, dan akulah yang akan menjadi kusirmu”. Selesai berdandan busana Keprajuritan, segera mereka menaiki kereta Prabu Kresna, kereta Jaladara. Kereta perang dengan empat ekor kuda yang berasal dari empat benua yang berwarna berbeda setiap ekornya, merupakan hadiah Para Dewa. Bila dibandingkan dengan kereta Jatisura milik Adipati Karna yang telah remuk dilanda tubuh Gatutkaca, kesaktian kereta Jaladara bisa berkali kali lipat kekuatannya.
Suasana berkembang makin hening, diangkasa telah turun para dewata dengan segenap para durandara dan para bidadari. Mereka hendak menyaksikan peristiwa besar yang terjadi dipadang Kuru. Sebaran bunga bunga mewangi turun satu satu bagai kupu kupu yang beterbangan.
Karna yang melihat kedatangan Arjuna berhasrat untuk turun dari keretanya. Kresna yang melihat keraguan memancar dari wajah Arjuna mengisyaratkan untuk menyambut kedatangannya. Berkata ia kepada Arjuna
“Lihat! Kakakmu Adipati Karna sudah turun dari kereta perangnya, segera sambut dan ciumlah kakinya”.
Arjuna segera turun berjalan mendapatkan kakak tertua tunggal wadah dengannya
“Baktiku kanda Adipati”, Arjuna duduk bersimpuh dihadapan Adipati Karna setelah menghaturkan sembahnya.
“Arjuna, seumpama aku seorang anak kecil, pastilah aku sudah menagis meraung raung. Tetapi beginilah orang yang menjalani kewajiban. Aku bela bela diriku membutakan mata menutup rasa hati untuk mencapai kamukten. Sekarang aku sudah mendapatkannya dari Dinda Prabu Duryudana. Dan sekarang aku harus berhadapan dan tega berkelahi sesama saudara sekandung!”. Karna menumpahkan isi hatinya.
“Kanda Adipati, hamba disini memakai busana senapati bukan untuk menandingi paduka kanda Prabu. Tetapi membawa pesan dari ibu kita, Kunti, untuk kembali berkumpul bersama saudara paduka Para Pandawa. Air mawar bening pembasuh kaki sudah disiapkan oleh adik adik paduka, Kanda Adipati”. Arjuna mencoba meluluhkan hati kakak tunggal ibu itu.
Kembali Adipati Karna menegaskan apa yang terrasa didalam hatinya. “ Lihat, air mataku jatuh berlinangan. Tetapi aku katakan, tidak tepat apa yang kamu katakan. Sudah berulang kali kamu memintaku untuk berkumpul bersama sama dengan saudaraku Pandawa. Begitu juga dengan Kanda Prabu Kresna, yang ketika itu datang kepadaku dan bicara empat mata. Sekarang sama halnya dengan dirimu, yang juga kembali mengajakku untuk berkumpul bersama. Bila aku menuruti permintaanmu, hidupku akan seperti halnya burung yang ada dalam sangkar emas. Tetapi hidupku tidak bisa bebas. Hidupku hanya kamu beri makan dan minum belaka. Apakah kamu senang bila mempunyai saudara dengan keadaan seperti yang aku katakan?”.
Sejenak mereka berdua saling berdiam diri. Sesaat kemudian Karna melanjutkan.”Tak ada seorangpun didunia ini yang dapat mengantarkan aku menuju alam kematianku, kecuali hanyalah dirimu, dinda Arjuna! Dan bila aku nanti mati dalam perang tanding itu, sampaikan baktiku pada ibunda Kunti, yang tak sekalipun aku memberi ketentraman batin dalam hidupnya . . . “
Serak terpatah patah suara Adipati Karna ketika ia melanjutkan curahan isi hati terhadap Arjuna.
Kembali susana menjadi hening. Akan tetapi tiba tiba ia berkata dengan nada tegas. “Hari ini adalah hari yang baik. Ayolah kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih perwira, lebih bertenaga, lebih sakti!”.
“Kanda, berikan kepadaku seribu maaf atas kelancangan hamba berani dengan saudara yang lebih tua”. Kembali Arjuna menghaturkan sembah, berkata ia, yang kemudian mengundurkan diri kembali menaiki kereta Jaladara.
Maka perang tanding dengan andalan ketepatan menggunakan anak panah berlangsung dengan seru. Keduanya sesama putra Kunti tidak sedikitpun berbeda ujudnya dalam busana keprajuritan. Keduanya menggunakan topong yang sama, sehingga banyak prajurit yang sedari tadi berhenti menonton sulit untuk membedakan yang mana Arjuna dan manakah yang Karna, kecuali pada kereta yang dinaikinya.
Pada suatu ketika topong kepala Adipati Karna terpental terkena panah Arjuna. Sejenak Karna meminta Prabu Salya untuk berhenti, dan berkata.
“Rama prabu, hampir saja hamba menanggung malu. Topong kepala hamba terpental oleh panah adi Arjuna”.
“Sudah aku katakan, tak hendak aku ikut campur dalam peristiwa ini. Aku hanya kusirmu. Tapi kali ini mari aku benahi rambutmu biar aku gelung”. Setengah hati Prabu Salya mendandani kembali putra menantunya.
Kembali adu ketangkasan olah warastra berlangsung. Kali ini Kunta Wijayandanu ada ditangan Karna. Waspada Prabu Salya dengan melihat senjata kedua setelah Kunta Druwasa yang telah sirna digunakan oleh Adipati Karna ketika berhadapan dengan Gatutkaca. Maka pada saat menantunya itu melepas anak panah, kendali kereta ditarik, kemudian kuda melonjak. Panah yang sejatinya akan tepat mengenai sasaran, hanya mengenai topong kepala Arjuna dan mencabik segenggam rambutnya.
“Aduh Kanda Prabu, topong hamba jatuh terkena panah kanda Adipati. Apakah ini sebagai perlambang kekalahan yang akan menimpa hamba?”. Arjuna menanyakan.
“Bukan ! Itu peristiwa biasa. Biarlah aku tambal rambutmu dengan rambutku. Sekarang aku akan menggelung rambutmu kembali”. Jawab Kresna, yang kemudian menerapkan kembali gelung rambut baru pada kepala Arjuna.
Kembali kedua putra Kunti berdandan dengan cara yang sama. Semakin bingung para yang melihat pertempuran dua satria yang hampir kembar itu. Bahkan para dewata dan segenap bidadari dan durandara, melihatnya dengan terkagum.
Adu kesaktian telah berlangsung lama, segala macam kagunan dan ilmu pengabaran telah dikeluarkan. Saling mengimbangi dan saling memunahkan kawijayan antara kesaktian mereka berdua.
Namun Arjuna masih memegang satu senjata yang belum digunakan. Itulah panah Kyai Pasupati, yang bertajam dengan bentuk bulan sabit.
“Arjuna !”, Kresna memberikan isyarat, “Sekaranglah saatnya!. Hanya sampai disini hidup kakakmu Adipati. Segera lepaskan senjatamu Pasupati untuk mengantarkan kakakmu ke alam kelanggengan!”.
Panah Pasupati telah tersandang pada busur gading Kyai Gandewa, lepas anak panah berdesing bagai tak terlihat. Walau Arjuna melepaskannya sambil memejamkan mata karena tak tega dan rasa bersalah, namun panah dengan bagian tajam yang menyerupai bulan sabit itu mengenai leher Adipati Karna.
Tajamnya Kyai Pasupati tiada tara, sampai-sampai, kepala Adipati Karna dengan senyum yang masih tersungging dibibirnya tak bergeser sedikitpun dari lehernya. Jatuh terduduk jasad Adipati Karna bersandarkan kursi kereta. Geragapan Prabu Salya yang merasa khawatir dan setengah bersalah. Turun dari kereta ia, kemudian menghilang dari pabaratan, kembali ke Bulupitu.
Namun kejadian sejak dari awal pertempuran tadi, tidak terlepas dari sepasang mata yang selalu mengawasi setiap gerakan sekecil apapun yang dilakukan Prabu Salya. Itulah sepasang mata Aswatama!
(Bersambung)
Banyak sekali versi tentang cerita Karna Tanding.
Petikan dan suntingan dari pagelaran demi pagelaran wayang purwa diatas,
adalah salah satunya yang terpilih untuk diketengahkan.
dalam versi lain, saat tanding lawan arjuna, kereta perang Karna teperosok ke dalam lumpur. sesuai dengan kutukan dari guru Karna yaitu Ramaparasu atau Ramabargawa. Pada saat membetulkan roda ketera yg terperosok itulah, Kresna memerintahkan Arjuna membidik Karna. Gugurlah Karna dengan kepala terpenggal panah Arjuna.
Syahdan,, Karna menyamar sebagai seorang brahmana agar dapat diterima menjadi murid Ramaparasu, karena Ramaparasu tidak mau menerima murid dari golongan ksatria. Pada suatu saat terbongkarlah kebohongan Karna.
Merasa ditipu dan dikhianati, keluarlah kutukan dari sang guru.
Gabung di FP kami yuk : http://facebook.com/caritawayang
0 comments:
Post a Comment