Searching...

Popular Posts

Thursday, June 20, 2013

Kidung Malam (51) - Merenda Benang Cinta

9:17 PM

Nagagini menyadari bahwa dirinya dan Bima bukan merupakan satu rumpun bangsa. Nagagini adalah keturunan dewa berjenis ular Naga. Sedangkan Bima adalah kesatria keturunan manusia pada umumnya. Namun Bima bagi Nagagini adalah keistimewaan. Ada getaran khusus yang belum didapatkannya pada manusia kebanyakan. Sejak perkenalannya dengan Bima, Nagagini tidak pernah melepaskan pikirannya atas Bima. Usaha untuk menghapus bayangan Bima diangannya tak pernah berhasil, bahkan semakin jelas tergambar.

Demikian halnya yang terjadi dengan Bima. Sejak pertemuannya dengan Nagagini, Bima gelisah luar biasa. Tidak ada yang tahu apa yang dirasakan Bima. Bahkan Bima sendiri tak habis mengerti mengapa tiba-tiba saja ada perasaan aneh yang menggelayut di angannya. Selama hidup belum pernah ia merasakan gejolak perasaan yang seperti ini. Bima tidak tertarik lagi membicarakan tentang peristiwa Bale Sigala-gala, kejahatan Sengkuni dan tahta Hastinapura, kecuali pembicaraan perihal pertemuannya dengan Dewi Nagagini. Bima juga tidak mempunyai hasrat untuk makan ketika dijamu dan tidur ketika larut malam, kecuali hasratnya untuk selalu bertemu dan bersanding dengan Nagagini. Lain yang dirasakan Nagagini, Bima tidak mempedulikan bahwa dirinya dan Nagani adalah berbeda. Yang dirasakan Bima adalah bahwa Nagagini telah menawan seluruh akal budinya.

Sama-sama berangkat dari kegerahan hati yang memuncak, mereka berdua dipertemukan di sebuah taman

“Raden Bima, belum tidurkah?”

Pertanyaan Nagagini tidak membutuhkan jawaban, namun cukup mengejutkan Bima, yang tidak menyangka bahwa Nagagini berada ditaman yang sama.

“Engkau juga belum tidur Nagagini?”

Jika keduanya mau jujur pasti jawabnya sama. Karena engkaulah yang menyebabkan aku tidak dapat tidur malam ini.

“Raden Bima senangkah engkau tinggal di sini?”

“Sangat senang Nagagini”

“Sangat senang? Mengapa?”

“Karena ada kau”

“Sungguhkah Raden? Karena aku?”

“Sungguh Nagagini. aku berkata dengan hati.”

“Engkau amat jujur Raden. Aku kagum kepadamu.”

“Sungguhkah Nagagini, engkau kagum padaku?”

Sembari tersenyum Nagagini mengangguk. Dada Bima bergelora. Hatinya tumbuh seribu bunga.

“Nagagini ini negara mana?”

“Apakah kakakku Nagatamala belum menjelaskan kepadamu?”

Bima menggelengkan kepala. Selanjutnya Ngagini memberitahukan bahwa ini adalah kahyangan Saptapertala, yang berpusat di dasar bumi lapisan ke tujuh. Rajanya adalah ayah Nagagini, bernama Sang Hyang Antaboga.

“Ibuku adalah bidadari bernama Dewi Supreti. Kami sebenarnya adalah bangsa ular yang sudah menjadi dewa-dewi.”

Bima mencoba mengingat apa yang telah dilihatnya. Para perajurit dan orang-orang di Saptapertala, termasuk Nagatatmala berbau amis, berkulit kasar seperti sisik ular. Namun yang mengherankan adalah Nagagini. kulitnya kuning halus bersinar.

“Apakah Sang Hyang Antaboga berujud Dewa? atau Ular Naga?”

“Berubah-ubah. Tetapi jika ayahku marah, ia menjelma menjadi seekor naga ganas yang mengerikan. Apakah engkau takut Raden”

Tatapan mata Nagagini menyimpan kekawatiran yang amat dalam. Jika Bima takut, harapannya untuk bersanding dengan Bima lebih lama, takan pernah kesampaian.

“Aku tidak takut Nagagini”

“Benarkah Raden?”

“Aku pernah ditolong naga Aryaka penguasa Bengawan Gangga dan diberi minum Tirta Rasakundha. Setelah meminum Tirta Rasakundha, itu aku merasakan daya yang luar biasa. Walaupun aku berada di dasar Bengawan Gangga. Rasanya berada di atas daratan, napasnya lancar, badan serta pakaiannya tidak basah.”

”Ah Bima, pengalaman luar biasa.”

Hampir saja Nagagini melompat kegirangan. Pengalaman Bima dengan naga Aryaka menyiratkan bahwa perkenalan dengan Bima akan berlanjut lebih jauh.

Source: google.com

0 comments:

Post a Comment