Searching...

Popular Posts

Thursday, June 20, 2013

Kidung Malam (48) - Meninggalkan Kotaraja

7:25 AM

Para kawula yang diusir Patih Sengkuni menjauh dari puing-puing kebakaran, namun mereka enggan untuk meninggalkan halaman Bale Sigala-gala. Jika pun ada yang keluar halaman, mereka berpencar tidak jauh dari pagar halaman Bale Sigala-gala. Diantara para kawula Hastinapura yang masih berada disekeliling Bale Sigala-gala, terdapat istri dan anak Purucona.. Ibu dan anak tersebut datang dari kotaraja ingin menyaksikan secara langsung keindahan Pesanggrahan Bale Sigala-gala, hasil karya Purucona. Sampai di tempat pesta isteri dan anak arsitektur nomor satu negara Hastinapura tersebut memandang kagum Bangunan pesanggrahan Bale Sigala-gala. Kekaguman mereka tidak sendiri. Karena hampir sebagian besar para tamu undangan yang hadir mengagumi karya Purucona.

Namun keindahan bangunan tersebut dalam sekejap berubah dengan cepat. seperti mimpi rasannya. Kini pesanggrahan yang indah telah hangus terbakar. Tak terbayangkan bahwa pesanggrahan yang dibangun ayahnya siang malam dengan susah payah tak kenal lelah, telah lenyap dalam seketika. Bahkan Purucona ikut lenyap bersama bangunan karyanya.

Rasa cemas dan kawatir semakin memuncak, ketika sampai siang hari, ibu dan anak tersebut tidak mendapati orang yang amat disayangi.

Tidak! Purucona tidak mati! Ia masih hidup pada waktu yang amat panjang.. Buktinya bahwa karya bangunan yang dihasilkan tersebar di seluruh penjuru negeri Hastinapura. Ilmu-ilmunya tentang bangunan sudah diberikan kepada murid-muridnya, anak buahnya, tukang-tukangnya. Lihatlah banyak bangunan yang berdiri di kotaraja Hastinapura yang disebut gaya Purucanan. Dan kemudian ilmu-ilmu arsitektur Purucanan tersebut telah tumbuh dan berkembang bahkan hingga ke manca negara.

Ibu dan anak itu berusaha menyangkal bahwa Purucona tidak mati hangus bersama bangunan karyanya. Mereka masih mengharapakan bahwa Purucona hidup dan tinggal bersama-sama dengan keluarga dalam damai, dan penuh kasih sayang.

Namun harapan tersebut semakin tipis. Purucona sudah tidak tampak lagi. Menurut dua tamu yang hadir pada malam pesta, mereka menyaksikan, ketika ada api berkobar dan langsung menjadi besar, empat perajurit menghalangi Purucona yang hendak menyelamatkan diri dari kobaran api. Bahkan yang lebih mengerikan, keempat perajurit tersebut melemparkan Purucona ke dalam kobaran api. Purucona menjerit keras-keras. Namun suara jeritannya tenggelam oleh suara ledakan tiang-tiang yang berisi sendawa.

“Ayah! Betapa malang nasibmu. Engkau dipakai sebagai alat konspirasi tingkat tinggi. Awalnya ia diberi kesempatan untuk berjalan di depan tetapi kemudian ditusuk dari belakang. Patih Sengkuni, si jahanam akan kubunuh engkau.”

“Jangan anakku! Jangan! jika kau lakukan, ibarat sulung masuk api, tak ada gunanya. Engkau akan mati sia-sia. Aku tidak mau kehilangan engkau.”

Anak Purucona tidak meneruskan niatnya. Benar apa yang dikatakan ibunya. Jika ia menuruti emosinya dan berusaha membunuh Patih Sengkuni, entah berhasil ataupun tidak, maka akibatnya ia sendiri yang akan dibunuh. Dan jika hal itu yang terjadi, ibunya pasti akan lebih menderita. Sudah kehilangan suami dan kemudian kehilangan anak satu-satunya.

“Ibu kita tinggalkan tempat ini dengan segera”.

Peristiwa Bale Sigala-gala menjadi sejarah hitam-pekat bagi keluarga Purucona. Walaupun di kotaraja mereka mempunyai rumah besar, megah dan asri, mereka tidak mau lagi kembali ke Hastinapura. Bagi mereka negaranya tidak dapat diandalakan untuk mengayomi warganya. Para penguasa negeri itu bersikap arogan. Ambisi pribadi dikedepankan. Kekuasaan dipakai sebagai alat untuk menguasai. Kedudukan hanya menjadi sarana untuk menginjak-injak rakyat dan memperlakukan rakyat sesuka hatinya. Jika untuk kepentingan diri sendiri, yang benar dapat disalahkan dan yang lurus diadili.

“Huh! Tidak sudi lagi aku menginjakan kakiku di kotaraja, sebelum Patih Sengkuni dan begundalnya lengser dari jabatannya.

Anak Purucona dan Ibunya berjalan tanpa tujuan. Mereka mempunyai hasrat yang sama, yaitu menjauhi Kotaraja Hastinapura, tempat para penguasa memperlakukan dan membunuh ayahnya sedemikian keji.

source: google

0 comments:

Post a Comment